JAKARTA - Indonesia Memanggil (IM) 57+ Institute mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut tuntas dugaan pemerasan yang melibatkan Gubernur Bengkulu nonaktif, Rohidin Mersyah. Kasus yang berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) ini diminta jangan berhenti hanya pada heboh sementara.
"Yang perlu dikawal selanjutnya adalah agar KPK tidak hanya sekadar OTT, tetapi juga menindaklanjutinya hingga kasus tersebut diselesaikan secara tuntas dan tidak sekadar hingar-bingar di depan," ujar Ketua IM57+ Institute, Lakso Anindito, dalam keterangan tertulisnya, Senin 25 November.
Lakso menambahkan, kasus ini jangan sampai berakhir seperti penetapan tersangka terhadap mantan Gubernur Kalimantan Selatan, Sahbirin Noor atau Paman Birin, yang tidak berujung pada tindakan lanjut. "KPK harus menyelesaikan ini secara tuntas hingga kepada pelaku utamanya," tegasnya.
IM57+ Institute menilai penangkapan Rohidin menunjukkan bahwa KPK masih bisa melakukan OTT dengan efektif, namun hal ini tak lepas dari peran dan komitmen pimpinan KPK. "Secara kapasitas, Insan KPK sudah terlatih untuk melakukan berbagai kegiatan dalam penindakan dan pencegahan," ungkap Lakso.
Dia juga mencatat, meskipun di ujung kepemimpinan, KPK tetap melakukan OTT, yang menunjukkan pentingnya pengawalan komitmen dari Pimpinan KPK terpilih untuk menghidupkan kembali inovasi-inovasi penindakan yang efektif.
Sebagai informasi, pada Sabtu (23/11), KPK melakukan OTT di Provinsi Bengkulu dan menangkap delapan orang untuk dimintai keterangan. Tiga orang di antaranya, yaitu Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah, Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Bengkulu Isnan Fajri, dan Evrianshah alias Anca (Aide-de-Camp Gubernur Bengkulu), kemudian ditetapkan sebagai tersangka.
SEE ALSO:
Saat OTT, penyidik menemukan uang senilai Rp7 miliar dalam pecahan rupiah, dolar AS, dan dolar Singapura. Pemerasan dan penerimaan gratifikasi ini diduga terkait dengan pembiayaan kampanye Rohidin untuk maju kembali sebagai calon petahana.
Ketiga tersangka dijerat dengan Pasal 12 huruf e dan Pasal 12B dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 KUHP.