JAKARTA - Iran tidak ambil pusing dengan hasil pemilihan presiden Amerika Serikat, setelah Donald Trump diprediksi mengungguli pesaingnya Kamala Harris dalam pemilihan yang digelar Hari Selasa.
Trump, calon dari Partai Republik yang berpasangan dengan JD Vance, diproyeksikan mengalahkan Harris yang berpasangan dengan Tim Walz dari Partai Republik.
Trump diprediksi meraih lebih 270 suara elektoral yang dibutuhkan untuk memenangi kursi kepresidenan, dari total 538 suara elektoral yang diperebutkan di 50 negara bagian dan Distrik Columbia, dikutip dari Reuters 6 November.
Hingga Rabu 6.30 pagi ET, Trump mengungguli Harris menurut sejumlah perhitungan mengenai perolehan suara dalam Pilpres AS 2024.
ABC News menempatkan Trump unggul dengan 279 suara elektoral atas Harris yang meraih 223 suara elektoral.
CBS News 275-222 untuk Trump, NBC News 276-222 untuk Trump, FOX News 277-226 untuk Trump, CNN 276-222 untuk Trump, AP 277-224 untuk Trump, Edison Research 279-224 untuk Trump dan Decision Desk 286-226 untuk Trump.
Di Teheran, juru bicara pemerintah Fatemeh Mohajerani mengatakan, mata pencaharian warga Iran tidak akan terpengaruh oleh Pemilu AS.
Para pejabat Arab dan Barat mengatakan kepada Reuters, Trump mungkin akan menerapkan kembali "kebijakan tekanan maksimum" melalui sanksi yang lebih tinggi terhadap industri minyak Iran, hingga memberi wewenang kepada Israel untuk menyerang situs nuklirnya dan melakukan pembunuhan.
"Pemilu AS bukanlah urusan kami. Kebijakan kami stabil dan tidak berubah berdasarkan individu. Kami telah membuat prediksi yang diperlukan sebelumnya dan tidak akan ada perubahan dalam mata pencaharian masyarakat," kata Mohajerani, menurut kantor berita semi-resmi Tasnim.
Sementara, Garda Revolusi (IRGC) tidak secara langsung bereaksi terhadap klaim kemenangan elektoral Trump, tetapi mengatakan Teheran dan kelompok bersenjata sekutunya di wilayah tersebut siap untuk berkonfrontasi dengan Israel.
"Zionis tidak memiliki kekuatan untuk menghadapi kami dan mereka harus menunggu tanggapan kami. Depot kami memiliki cukup senjata untuk itu," kata Wakil Kepala IRGV Ali Fadavi pada Hari Rabu.
BACA JUGA:
Ia menambahkan, Teheran tidak mengesampingkan kemungkinan serangan pendahuluan AS-Israel untuk mencegahnya membalas dendam terhadap Israel.
Diketahui, dalam masa jabatan pertamanya, Trump menerapkan kembali sanksi terhadap Iran setelah ia menarik diri dari pakta nuklir tahun 2015 antara Iran dan negara-negara besar dunia yang telah membatasi program nuklir Teheran dengan imbalan keuntungan ekonomi.
Pemberlakuan kembali sanksi AS pada tahun 2018 berdampak pada ekspor minyak Iran, memangkas pendapatan pemerintah dan memaksanya untuk mengambil langkah-langkah yang tidak populer, seperti menaikkan pajak dan menjalankan defisit anggaran yang besar, kebijakan yang telah membuat inflasi tahunan mendekati 40 persen.