Bagikan:

JAKARTA - Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menemui perwakilan Serikat buruh untuk menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) ya g mengabulkan sebagian gugatan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja yang diajukan Partai Buruh dkk. 

Dasco menyatakan, DPR dan pemerintah akan mengkaji indeks upah layak bagi buruh. Seiring tidak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 201 tentang Pengupahan. 

"Kami tadi sudah mengadakan pertemuan, ini Pak Said Iqbal sebagai yang mewakili salah satu elemen buruh. Tadi sudah menyampaikan beberapa hal dan tadi juga sudah bertemu dengan Menteri Tenaga Kerja. Yang intinya bahwa sesuai dengan keputusan MK, bahwa kami dari DPR menyatakan bahwa memang PP 51 itu sudah tidak berlaku," ujar Dasco di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 6 November. 

"Dan lalu kemudian menyikapi keputusan MK mengenai upah dan lain-lain tadi sudah disepakati bahwa buruh, pemerintah, dan DPR akan mengkaji dan membahas dengan seksama bagaimana indeks upah buruh supaya tidak ada yang dirugikan baik dari pengusaha maupun buruh," sambungnya. 

Karena PP/51 sudah tidak berlaku, lanjut Dasco, maka harus ada penyesuaian pengupahan dan lain-lain yang akan dibicarakan bersama-sama. Dasco optimis, penyesuaian ini akan berlaku sebelum dua tahun sebagaimana tenggat waktu yang diberikan.  

"Ya, kita optimis bahwa ini akan dapat terealisasi dalam waktu yang tidak lama. Tetapi memang perlu waktu untuk membicarakan karena ini hal bukan hal yang mudah dan juga tidak harus terburu-buru," jelas Ketua Harian DPP Gerindra itu. 

Diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja yang diajukan Partai Buruh dkk. 

Salah satu amar putusan MK tersebut menyangkut soal mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang diatur dalam Pasal 151 ayat (4) dalam Pasal 81 angka 40 Lampiran UU Ciptaker.

MK menyatakan frasa yang terkandung dalam pasal itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Adapun frasa yang dianggap bertentangan oleh MK itu berbunyi 'pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian hubungan industrial'.

"Menyatakan frasa 'pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial' dalam Pasal 151 ayat (4) dalam Pasal 81 angka 40 Lampiran UU Ciptaker bertentangan dengan UUD 1945," seperti dikutip dari salinan putusan MK, dikutip Rabu, 6 November.

Adapun Pasal 151 ayat (4) UU Cipta Kerja ini mengatur tentang pekerja yang sudah diberitahu terkena PHK, namun menolak keputusan tersebut. Ketika perundingan bipartit antara perusahaan dan pekerja/serikat pekerja berakhir buntu, maka keputusan PHK harus dilakukan melalui penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Dalam putusannya, MK mengubah bunyi pasal tersebut dengan memperjelas mekanisme yang harus ditempuh ketika perusahaan ingin memecat seseorang. MK menyatakan Pemutusan Hubungan Kerja itu hanya bisa dilakukan setelah lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial memberikan keputusan yang mengikat.

"...tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, 'Dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan maka Pemutusan Hubungan Kerja hanya dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap," tulis MK.