JAKARTA - Tidak mudah bagi sebuah pemerintahan untuk memberlakukan lockdown karena beberapa pertimbangan, salah satunya ekonomi. Namun, demi menekan angka penyebaran COVID-19 menyelamatkan banyak nyawa, lockdown nampaknya memang keputusan besar yang harus diambil. India pun mengambil langkah tersebut. Namun, kita punya banyak alasan untuk tak meniru persis lockdown yang dilakukan India, tentu saja.
Sudah sepekan India menjalankan kebijakan lockdown. Meskipun terdapat beberapa kontroversi terkait lockdown ini, setidaknya masih ada sisi positifnya. Lockdown memaksa banyak warga India tidak melakukan kegiatan di luar rumah. Banyak orang yang tak lagi menggunakan alat transportasinya. Hal tersebut membuat udara di India menjadi lebih sehat karena berkurangnya tingkat polusi.
Semua pabrik, pasar, toko, dan tempat ibadah ditutup, sebagian besar transportasi umum ditangguhkan dan pekerjaan konstruksi dihentikan karena pemerintah India meminta warganya untuk tinggal di rumah dan mempraktikkan social distancing. Sejauh ini, India memiliki lebih dari 1.300 kasus COVID-19 yang dikonfirmasi, 35 di antaranya dinyatakan meninggal dunia.
Melansir CNN, Rabu 1 April, data menunjukkan bahwa kota-kota besar di India memiliki bahan partikel mikroskopik berbahaya yang dikenal sebagai PM 2.5, dan nitrogen dioksida lebih rendah dari hari-hari biasanya. Partikel-partikel tersebut dilepaskan oleh kendaraan dan pembangkit listrik.
Partikel PM 2.5, yang berdiameter lebih kecil dari 2,5 mikrometer, dianggap sangat berbahaya karena dapat masuk ke paru-paru dan aliran darah, menyebabkan risiko kesehatan yang serius. Turunnya polusi secara tiba-tiba dan langit yang lebih biru menandakan perubahan dramatis bagi India, yang memiliki 21 dari 30 kota paling tercemar di dunia, menurut Laporan Kualitas Udara Dunia 2019 dari AirVisual.
Di Ibu Kota India, New Delhi, data pemerintah menunjukkan rata-rata PM 2,5 turun 71% dalam waktu sepekan, dari 91 mikrogram per meter kubik pada 20 Maret, menjadi 26 pada 27 Maret. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan bahwa angka di atas 25 buruk untuk kesehatan.
"Saya belum pernah melihat langit biru di Delhi selama 10 tahun terakhir," kata Jyoti Pande Lavakare, salah satu pendiri organisasi lingkungan India, Care for Air.
"Ini adalah hikmah dari krisis yang mengerikan sehingga kita bisa melangkah keluar dan bernapas," tambah Lavakare.
Polusi terendah
Bahkan, sebelum lockdown nasional dimulai pada 25 Maret, penghentian bertahap yang dilakukan di India juga telah memberikan dampak. Selama tiga minggu pertama Maret, tingkat nitrogen dioksida rata-rata turun 40 persen-50 persen di Mumbai, Pune, dan Ahmedabad, dibandingkan dengan periode yang sama pada 2018 dan 2019, kata Gufran Beig, seorang ilmuwan disebuah badan di bawah Kementerian Ilmu Bumi India.
"Pengurangan emisi bahan bakar fosil karena sektor transportasi dan perlambatan aktivitas terkait emisi lainnya secara perlahan mengurangi polutan udara," kata Beig.
Pemberlakuan jam malam nasional di India pada 22 Maret juga menghasilkan tingkat polusi lalu lintas terendah dalam catatan. Polutan berbahaya lainnya, PM2.5 dan PM10 yang lebih besar, yang berdiameter kurang dari 10 mikrometer, jumlahnya juga turun tajam, tambah laporan itu.
"Sangat mungkin bahwa bahkan rekor 22 Maret akan dipecahkan dan kami melihat hari-hari yang lebih bersih karena industri, transportasi dan pembangkit energi berkurang di seluruh negeri," kata Sunil Dahiya, seorang analis yang berbasis di New Delhi.
BACA JUGA:
Hal serupa juga terjadi di Eropa dan China sejak lockdown. Semua jaringan industri dan transportasi terhenti. Tetapi data tersebut bukan alasan untuk merayakannya, kata Dahiya.
"Ini adalah situasi yang benar-benar suram di mana seluruh dunia sedang bergulat," kata Dahiya.
"Polusi sedang turun, tetapi kita tidak bisa membiarkan penderitaan manusia menjadi cara untuk membersihkan udara. Kita hanya bisa menggunakan wabah virus corona sebagai pembelajaran bagi kita," tukas Dahiya.