Bagikan:

JAKARTA - Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (EKI), Satrio Wibowo, menggugat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dia tak terima ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi pengadaan alat perlindungan diri (APD) di Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

Satrio melawan penetapan tersangka ini pada Jumat, 18 Oktober. Dia mendaftarkan gugatannya ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan dan terdaftar dengan nomor perkara 108/Pid.Pra/2024/PN JKT. Sel.

Dalam gugatannya, pihak swasta ini minta Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menguji penetapan tersangka yang dilakukan oleh KPK. Adapun Satrio saat ini sudah menjalani penahanan.

Sementara itu, KPK tak gentar dengan gugatan praperadilan yang dilakukan Satrio karena proses hukum berjalan sesuai dengan prosedur. Juru Bicara KPK Tessa Mahardika mengatakan tim biro hukum siap menghadapi proses hukum tersebut.

“KPK mempersilakan tersangka untuk mengajukan permohonan praperadilan sesuai hak yang diberikan oleh aturan hukum yang berlaku,” tegas Tessa dalam keterangan tertulisnya.

“Kami melalui Biro Hukum KPK akan menghadapi dan mengawal proses persidangannya,” sambung juru bicara berlatar belakang penyidik itu.

Diberitakan sebelumnya, KPK sudah menahan dua tersangka kasus korupsi pengadaan alat pelindung diri (APD) COVID-19 yang menggunakan dana siap pakai Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) pada 3 Oktober. Mereka adalah pejabat pembuat komitmen (PPK) di Kemenkes Budi Sylvana dan Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia, Satrio Wibowo

Sementara satu tersangka lainnya, Ahmad Taufik selaku Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri (PPM) karena kondisi kesehatannya. Dia baru saja menjalani operasi.

Dalam kasus ini, ketiganya diduga membuat negara merugi hingga Rp319 miliar berdasarkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). KPK menyebut ada sejumlah pelanggaran prosedur pembelian.

Salah satu kesalahannya adalah pendistribusian oleh TNI atas perintah Kepala BNPB saat itu mengambil APD dari produsen milik PT PPM di Kawasan Berikat dan langsung mengirimkannya ke 10 provinsi tanpa dilengkapi dokumentasi, bukti pendukung dan surat pemesanan.

Kemudian ada negosiasi ulang yang dilakukan oleh Harmensyah selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) BNPB supaya harga APD diturunkan sebesar 10 dolar Amerika Serikat atau dari 60 dolar menjadi 50 dolar. Proses ini disebut KPK tidak mengacu pada harga APD merek sama yang dibeli oleh Kemenkes sebelumnya, yakni sebesar Rp370 ribu.

Berikutnya terjadi backdate untuk menunjuk Budi sebagai PPK untuk pengadaan APD di Kemenkes pada 28 Maret 2020. Sedangkan surat dikeluarkan sehari sebelumnya.

Lalu, ada juga Surat Pesanan APD dari Kemenkes kepada PT PPM sejumlah 5 juta set dengan harga satuan 48,4 dolar Amerika Serikat yang ditandatangani oleh Budi, Ahmad Taufik dan Satrio. Hanya saja, tidak terdapat spesifikasi pekerjaan, waktu pelaksanaan pekerjaan, pembayaran serta hak dan kewajiban para pihak secara terperinci.

Selain itu, Surat Pemesanan tersebut ditujukan kepada PT PPM, tetapi PT EKI turut menandatangani. Akibat perbuatannya, para tersangka disangka melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).