Bagikan:

JAKARTA - Wakil Ketua DPR Cucun Ahmad Syamsurijal menyoroti kasus guru honorer, Supriyani yang menjadi tersangka usai dituduh menganiaya siswa anak polisi di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara (Sultra). Ia mendorong agar kasus guru Supriyani diselesaikan dengan langkah restorative justice atau keadilan restoratif.

“Kita sayangkan adanya perkara hukum yang menimpa salah satu guru honorer, Ibu Supriyani. Seharusnya permasalahan ini sejak awal bisa diselesaikan lewat jalur damai,” kata Cucun Ahmad Syamsurijal, Kamis 24 Oktober.

Supriyani jadi tersangka kasus dugaan penganiayaan terhadap siswa oleh Polres Konawe Selatan pada Rabu (3/7) lalu. Supriyani kemudian sempat ditahan usai dilakukan tahap II penyerahan berkas perkara dan tersangka dari polisi ke Kejaksaan.

Namun akhirnya, hakim pada Pengadilan Negeri (PN) Andoolo, Konawe Selatan (Konsel), menangguhkan penahanan Supriyani dengan pertimbangan kondisi tersangka memiliki anak kecil dan statusnya sebagai guru di SD Negeri 4 Baito yang harus menjalankan tugasnya. Cucun menilai, keputusan hakim sudah tepat.

“Kita bersyukur dengan keputusan penangguhan penahanan ini. Dalam proses peradilan, asas kemanusiaan juga harus jadi perhatian,” tutur Legislator dari Dapil Jawa Barat II itu.

Meski saat ini penahanan guru Supriyani ditangguhkan, perkara hukumnya akan tetap dilanjutkan ke persidangan. Sidang perdana kasus Supriyani akan digelar di PN Andoolo hari ini.

Cucun pun mendorong agar perkara guru Supriyani dapat diselesaikan dengan pendekatan restorative justice (RJ) atau keadilan restoratif. Melalui pendekatan keadilan restoratif, penyelesaian perkara dapat dijadikan instrumen pemulihan keadilan.

“Terdapat berbagai pedoman hukum yang memungkinkan kasus Ibu guru Supriyani bisa diselesaikan dengan pendekatan RJ. Kita harapkan hakim bisa arif untuk mempertimbangkan dilakukannya RJ pada kasus ini,” ungkap Cucun.

Salah satu beleid yang mengatur penerapan restorative justice oleh hakim atau pengadilan tertuang dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Cucun menyebut, penerapan keadilan restoratif dapat tercapai jika korban memaafkan pelaku tindak pidana, serta korban dan pelaku berdamai.

“Tidak semua masalah harus diselesaikan lewat pidana. Upayakan terciptanya perdamaian pada kasus hukum ringan. Aparat penegak hukum juga harus memastikan hadirnya keadilan bagi semua pihak,” sebutnya.

“Sebab keadilan hakiki bukan hanya tentang hitam dan putih. Keadilan yang sesungguhnya adalah bagaimana kita menempatkan segala sesuatu pada porsi yang tepat,” imbuh Cucun.

Pimpinan DPR yang membidangi urusan kesejahteraan rakyat (Kesra) itu pun mendorong pengadilan dapat betul-betul mengungkap kebenaran dari kasus ini. Cucun menyoroti bagaimana guru Supriyani yang bersikeras menyatakan tidak melakukan penganiayaan, ditambah dengan adanya sejumlah saksi yang mendukung pengakuan Supriyani.

“Kita harap pengadilan bisa membuka kebenaran dari kasus ini. Kita tidak ingin ada orang yang tidak bersalah jadi dirugikan karena adanya kesalahpahaman,” tegasnya.

Berdasarkan penjelasan kepolisian, kasus dugaan penganiayaan ini bermula saat siswa kelas 1 SD berinisial MC ketahuan memiliki luka bekas penganiayaan di pahanya. Siswa tersebut mengaku dianiaya oleh Supriyani sehingga sang ayah yang merupakan salah satu personel kepolisian di Polsek Baito membawa masalah ini ke jalur hukum.

Sebelum penyidikan, proses mediasi telah dilakukan beberapa kali. Berdasarkan informasi, pihak Suryani diminta untuk membayar denda sebesar Rp 50 juta kepada keluarga siswa MC pada saat mediasi. Namun pihak sekolah hanya menyanggupi untuk membayar Rp 10 juta.

Pihak pelapor disebut tak mau berdamai karena tuntutan denda yang dimintanya tidak dapat dipenuhi. Karena tidak menemui jalan damai, akhirnya kasus hukum Supriyani dilanjutkan dan ia langsung ditahan.

Supriyani juga mengaku diminta untuk mengakui tuduhan penganiayaan terkait penetapannya sebagai tersangka saat penyidikan di kepolisian. Ia menyatakan tak pernah mengaku menganiaya korban dan permintaan maaf yang disampaikannya dilakukan agar masalah cepat berlalu.

“Kalau informasi ini benar terjadi, kita harap Polri bisa menindaklanjuti lebih jauh agar jangan sampai ada muncul bibit-bibit korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Sikap arogansi aparat juga tidak dapat dibenarkan,” ujar Cucun.

Pihak LBH Himpunan Advokat Muda Indonesia (HAMI) Sultra yang memberi pendampingan hukum untuk Supriyani mengungkapkan ada banyak kejanggalan pada kasus ini. Sebab pada saat hari kejadian yang dituduhkan, Supriyani berada di kelas berbeda dengan anak pelapor.

Dalam dakwaan pihak kejaksaan, anak pelapor disebut dipukul satu kali dengan sapu. Sementara berdasarkan kesaksian guru lain yang melihat langsung kondisi siswa MC, luka anak pelapor itu terlihat seperti luka melepuh, bukan seperti bekas luka pukulan.

Selain itu, Supriyani yang telah mengabdi sebagai guru honorer selama 16 tahun tersebut dituduh menganiaya pada pukul 10.00 Wita. Menurut pihak LBH, waktu kejadian tidak dapat dibenarkan mengingat di jam tersebut seluruh siswa sudah pulang.

Atas hal ini, Cucun menekankan pentingnya semua pemangku kepentingan, termasuk pihak kepolisian dan sistem peradilan, untuk menangani kasus ini dengan transparansi dan keadilan.

“Kita semua setuju bahwa penganiayaan terhadap anak adalah tindakan yang tidak bisa ditoleransi. Tapi kita juga harus memastikan bahwa semua pihak diperlakukan adil dan bahwa tuduhan tidak digunakan sebagai alat untuk menyerang,” paparnya.

Menurut Cucun, guru Supriyani berhak atas proses hukum yang fair di mana bukti dan fakta harus menjadi dasar dari setiap keputusan yang diambil. Dengan begitu tidak akan ada kecurigaan bahwa hukum tumpul ke atas tapi tajam ke bawah.

“Dalam hal ini, keadilan bukan hanya tentang menghukum yang bersalah, tetapi juga melindungi yang tidak bersalah dari stigma dan kerugian yang tidak seharusnya mereka alami,” tukas Cucun.

Cucun juga mendukung Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) yang menyatakan akan mengangkat Supriyani menjadi guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) melalui jalur afirmasi. Apalagi guru honorer seperti Supriyani sering kali berada dalam posisi yang rentan.

“Karena saat ini guru tidak hanya harus memenuhi tanggung jawab mengajar, tetapi sering kali juga berhadapan dengan risiko hukum yang dapat mengancam karir dan kehidupan mereka,” ucapnya.

“Maka kita berharap perlindungan terhadap guru semakin ditingkatkan, termasuk kesejahteraan bagi para guru honorer yang masih sama-sama harus kita perjuangkan mengingat penghasilan mereka tidak sebanding dengan tanggung jawab dan risiko yang harus dihadapinya,” pungkas Cucun.