JAKARTA - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengingatkan tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) tidak boleh diselesaikan secara adat, karena Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) tidak mengenal penyelesaian perkara di luar proses peradilan.
“Satu hal yang saya kira ini sangat penting. UU TPKS tidak mengenal penyelesaian perkara di luar proses peradilan. Artinya, kita semua harus mendukung. Jangan sampai setipis-tipisnya tetap dilakukan (penyelesaian di luar proses peradilan), ini yang tidak boleh, termasuk praktik adat,” kata Wakil Ketua LPSK Sri Nurherwati dilansir Antara, Senin, 7 Oktober.
Sri bercerita belum lama ini ia mengunjungi seorang bapak di Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang melakukan pencabutan laporan ke Polres dan pencabutan perlindungan terhadap anaknya yang menjadi korban kekerasan seksual karena merasa sudah diselesaikan secara adat.
Bapak tersebut telah menerima ternak dan beberapa barang lainnya sebagai simbol penyelesaian secara adat.
Kepada bapak itu, Sri menegaskan urusan antara keluarga korban dan pelaku mungkin sudah selesai. Akan tetapi urusan pelaku dengan negara belum selesai. Apabila ada seseorang yang menghalangi proses hukum pada pelaku, maka seorang tersebut juga bisa dikenakan pasal tindak pidana.
“Alhamdulillah bapak tersebut menjawab, ‘Baik, saya tidak akan menghalangi proses hukum. Silakan kalau memang negara harus bekerja untuk itu’. Dan saya kira banyak sekali masyarakat yang masih menjadikan penyelesaian secara adat. Ini yang menjadi tugas kita bersama untuk menegaskan, tidak ada proses di luar peradilan yang boleh menyelesaikan kekerasan seksual,” jelas Sri.
Menurutnya, penegasan terkait tidak bolehnya penyelesaian kasus kekerasan seksual di luar peradilan, tidak cukup hanya dilakukan dengan sosialisasi. Upaya ini juga harus melibatkan pemerintah daerah, bahkan menggandeng sejumlah tokoh adat yang bisa mengomunikasikan permasalahan tersebut.
Sri mengatakan praktik adat yang tidak sesuai dengan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) akan menghambat upaya pengangkatan “pohon” diskriminasi hingga ke akar-akarnya.
Maka, imbuh dia, praktik-praktik adat harus dikenali mana yang mendiskriminasi perempuan dan mana yang bukan.
Praktik adat yang mendiskriminasi perempuan itulah yang harus secara tegas dinyatakan hal itu tidak boleh dilakukan lagi, termasuk praktik penyelesaian di luar peradilan atas nama adat.
“Ini PR-nya masih banyak. Kita semuanya memang harus banyak terlibat, termasuk yang di daerahnya masih menggunakan praktik adat supaya kita bersama-sama mendorong untuk bisa mengidentifikasi praktik adat yang melanggar HAM dan tidak boleh untuk terus-menerus dipraktikkan termasuk dalam penyelesaian tindak pidana kekerasan seksual,” kata dia.
Tak hanya terkait dengan praktik adat, Sri mengingatkan bahwa Aparat Penegak Hukum (APH) juga tidak diperbolehkan melakukan penyelesaian kasus kekerasan seksual di luar peradilan. Ia juga mengingatkan restitusi merupakan hak korban dan bukan alat untuk posisi tawar untuk meringankan hukuman.
BACA JUGA:
Karena itu APH yang menangani kasus tersebut harus merupakan sumber daya manusia yang berkompeten yang memahami permasalahan hak asasi manusia (HAM) dan memahami penanganan kasus kekerasan seksual.
“Saya kira kita sedang berkomunikasi dengan para pengampu unit PPA dan kita akan berdialog dengan Direktorat Tindak Pidana PPA-PPO Bareskrim Polri. Juga dengan Kejaksaan Agung, kami juga sudah sampaikan, tidak boleh ada penyelesaian di luar peradilan karena itu hal yang berbeda bahkan bukan hal yang meringankan karena itu menjadi kewajiban,” kata Sri.