JAKARTA - Pemerintah terus berupaya melakukan berbagai cara untuk melawan virus corona atau COVID-19. Salah satunya dengan pembatasan sosial berskala besar atau disebut physical distancing yang disertai kebijakan darurat sipil. Namun, keputusan ini dinilai tidak tepat.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, Indonesia lebih cocok untuk merapakan karantina wilayah dengan mengacu UU nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
"Pakai UU Kekarantinaan kesehatan dengan karantina wilayah. Tetapi pemerintah harus menanggung biaya lebih besar, tidak apa-apa menurut saya karena situasinya begini (darurat)," katanya, saat dihubungi VOI, di Jakarta, Selasa, 31 Maret.
Jika pun ingin memberlakukan pembatasan sosial berskala besar, kata Tauhid, pemerintah tidak perlu menyertainya dengan status darurat sipil. Sebab, physical distancing memiliki dampak ekonomi yang jauh lebih besar dalam jangka panjang.
"Apalagi menggunakan Perppu 23 tahun 1959 karena mata rantai ekonominya sangat terbatas. Penyelesaiannya butuh waktu lama mengatasi ini. Kalau butuh waktu lebih lama otomatis dampak ekonominya lebih panjang. Recovery ekonominya juga lebih lama lagi," tuturnya.
Selain itu, kata Tauhid, pembatasan sosial berskala besar dengan status darurat sipil itu juga membuat masyakarat tidak bisa berbuat banyak karena tidak ada jaminan penyelesaian COVID-19 dapat dengan cepat tertangani.
Tauhid mengatakan, jika pemerintah memberlakukan karantina wilayah memang akan memberikan efek kejut tehadap ekonomi. Karena aktivitas masyakarat di daerah berhenti dan hanya mengandalkan ekonomi lokal. Sehingga, untuk penerapannya butuh kesiapan pemerintah. Khususnya untuk persediaan pangan.
"Itu yang kelihatannya 'pemerintah tidak sanggup'," tuturnya.
BACA JUGA:
Meski memiliki efek kejut, kata Tauhid, karantina wilayah memiliki dampak positif terhadap kesehatan. Sebab, memutus penyebaran COVID-19 ke wilayah lain dan membuat penyelesaian COVID-19 jauh lebih cepat.
"Karena penyelesaian COVID-19 lebih cepat, jadi proses recovery jauh lebih cepat ketimbang pembatasan sosial berskala besar dengan status darurat sipil," ucapnya.
Tauhid berujar, pada kondisi saat ini pemerintah serba salah dalam mengambil keputusan antara karantina wilayah atau pembatasan sosial berskala besar dengan status darurat sipil.
"Mau ideal karantina wilayah duitnya enggak cukup. Jadi akhirnya pakai pembatasan sosial berskala besar dengan status darurat sipil. Pemerintah "tidak mampu untuk menyediakan bantuan sosial," untuk pangan dan sebagainya. Akhirnya dipilih jalur seperti itu," tuturnya.
Penerapan karantina wilayah, kata Tauhid, membutuhkan anggaran yang besar. Karena jika aturan ini diberlakukan pemerintah wajib menanggung semua kebutuhan masyarakat. Namun, ini akan jauh lebih baik daripada membiarkan wabah COVID-19 menyebar ke pelosok-pelosok Indonesia.
"Perlu alokasi yang lebih besar memang. Tetapi daripada lama selesai, dan ekonomi jauh lebih lama proses recovery-nya. Kalau karantina wilayah (defisit) jauh lebih besar. Karena kan di samping secara teknis membutuhkan TNI/Polri dan sebagainya. Tetapi yang lebih besar bantuan sosial dan insentif ekonominya," jelasnya.
Menurut Tauhid, dengan memperlama penanganan COVID-19 akan membuat ekonomi nasional semakin terpuruk. Karena itu, Tauhid menilai, lebih baik pemerintah mengeluarkan anggaran lebih besar, namun ada kepastian penanganannya COVID-19 cepat terselesaikan.
Sekadar informasi, terminologi pembatasan sosial skala besar ini ada di dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Dalam aturan ini ada empat macam karantina yaitu karantina rumah, karantina wilayah, karantina rumah sakit, dan pembatasan sosial berskala besar.
Berikut penjelasan karantina wilayah dan pembatasan sosial berskala besar, yakni:
Karantina Wilayah
Pasal 53
(1) Karantina Wilayah merupakan bagian respons dari Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.
(2) Karantina Wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan kepada seluruh anggota masyarakat di suatu wilayah apabila dari hasil konfirmasi laboratorium sudah terjadi penyebaran penyakit antar anggota masyarakat di wilayah tersebut.
Pasal 54
(1) Pejabat Karantina Kesehatan wajib memberikan penjelasan kepada masyarakat di wilayah setempat sebelum melaksanakan Karantina Wilayah.
(2) Wilayah yang dikarantina diberi garis karantina dan dijaga terus menerus oleh pejabat Karantina Kesehatan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berada di luar wilayah karantina.
(3) Anggota masyarakat yang dikarantina tidak boleh keluar masuk wilayah karantina.
(4) Selama masa Karantina Wilayah ternyata salah satu atau beberapa anggota di wilayah tersebut ada yang menderita penyakit Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang sedang terjadi maka dilakukan tindakan Isolasi dan segera dirujuk ke rumah sakit.
Pasal 55
(1) Selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.
(2) Tanggung jawab Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan Karantina Wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan dengan melibatkan Pemerintah Daerah dan pihak yang terkait.
Pembatasan Sosial Skala Besar
Pasal 59
(1) Pembatasan Sosial Berskala Besar merupakan bagian dari respons Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.
(2) Pembatasan Sosial Berskala Besar bertujuan mencegah meluasnya penyebaran penyakit Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang sedang terjadi antar orang di suatu wilayah tertentu.
(3) Pembatasan Sosial Berskala Besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
a. peliburan sekolah dan tempat kerja;
b. pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau
c. pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
(4) Penyelenggaraan Pembatasan Sosial Berskala Besar berkoordinasi dan bekerja sama dengan berbagai pihak terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.