JAKARTA - DPR RI Periode 2019-2024 berhasil menelurkan 225 undang-undang selama 5 tahun mengemban amanah. Dari 225 UU yang dihasilkan lembaga legislatif periode kali ini, sejumlah undang-undang mendapat perhatian khusus karena dianggap meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
“Dalam pelaksanaan fungsi legislasi selama periode ini, DPR RI telah menjalankan transformasi dalam memenuhi kebutuhan hukum nasional, yaitu antara lain pembentukan undang-undang yang dilakukan dengan metode omnibus law; suatu pembentukan Undang-Undangyang terintegrasi dengan perubahan dari berbagai Undang-Undang lain,” kata Ketua DPR RI Puan Maharani.
Hal tersebut disampaikan Puan saat memimpin Rapat Paripurna Penutupan Masa Persidangan I Tahun Sidang 2024-2025 di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin 30 September. Rapat Paripurna ini menjadi rapat terakhir DPR periode 2019-2024.
Perempuan pertama yang menjabat sebagai Ketua DPR RI itu mengatakan, bahwa dalam membentuk suatu Undang-Undang terdapat berbagai perspektif, kepentingan, keberpihakan, dan dampak yang perlu diperhatikan. Meski begitu, Puan menegaskan pembentukan legislasi harus ditujukan demi kepentingan rakyat.
“Dalam membentuk Undang-Undang, dibutuhkan political will (kemauan politik) yang kuat dari para pihak, fraksi-fraksi di DPR RI, dan dari Pemerintah agar dapat mencapai titik temu substansi Undang Undang yang sungguh-sungguh bagi kepentingan negara Indonesia dan rakyat Indonesia,” sebut Cucu Bung Karno itu.
Adapun 225 RUU yang telah disahkan menjadi UU itu terdiri dari 48 RUU dari daftar Prolegnas 2019-2024, dan 177 RUU kumulatif terbuka.
Berdasarkan waktu, UU yang disahkan DPR pada tahun 2024 sebanyak 149 UU, tahun 2023 ada 18 UU, tahun 2022 sebanyak 32 UU, tahun 2021 ada 13 UU, dan tahun 2020 juga 13 UU di mana 2 di antaranya merupakan carry over dari periode DPR sebelumnya.
Salah satu UU yang mendapat respons positif publik adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). UU ini berhasil disahkan DPR di bawah kepemimpinan Puan setelah 10 tahun lamanya diperjuangkan.
Banyak pihak menganggap, UU TPKS merupakan tonggak awal penghapusan kekerasan seksual di Indonesia yang telah menjadi fenomena gunung es. UU ini juga dianggap sebagai perhatian DPR pada kebutuhan publik dan gerakan sosial yang mendesak, yakni dalam hal perlindungan hukum bagi korban kekerasan seksual.
Selain itu, pengesahan UU TPKS menunjukkan komitmen negara dalam memenuhi kewajiban konstitusional untuk melindungi warganya dari kekerasan dan diskiriminasi.
Tidak hanya menitikberatkan penegakan hukum terhadap pelaku, UU TPKS pun mencerminkan paradigma penanganan korban dari tindak pidana yang memuat berbagai upaya pelindungan korban TPKS dengan memuat tata cara pemberian restitusi, penegasan kewajiban negara dalam memberikan hak korban, pengklasifikasian hak korban menjadi 3 sesuai dengan kondisi dan kebutuhan korban, yaitu hak korban atas penanganan, hak korban atas pelindungan dan hak korban atas pemulihan.
UU TPKS menjadi langkah awal yang perlu ditindaklanjuti pemerintah untuk implementasi yang lebih luas. Meski begitu, DPR menyoroti masih belum direalisasikannya aturan turunan dari UU progresif ini.
“UU TPKS sampai hari ini turunannya belum ada. Kita punya responsibility, maka kemudian collective obligasi itu yang penting,” ungkap Ketua Panja UU TPKS Willy Aditya usai Rapat Paripurna terakhir DPR periode 2019-2024 di Gedung DPR.
Untuk itu, Willy yang juga Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR periode ini berharap agar pengawalan terhadap UU yang telah disahkan terus dilanjutkan oleh DPR periode mendatang.
“Jadi saya kemarin pas perpisahan Baleg menegaskan kalau dulu Pak Jokowi ada presidensial club, maka harus ada legislatif club juga. Sehingga ada kontinuitas agar pengawasan tidak terputus, jangan seolah ada orang baru maka suasana baru,” tuturnya.
“Kita berharap agar yang sudah diletakkan sebelumnya sebagai milestone itu tidak hilang. Kontinuitas itu penting. Maka kemudian yang menjadi backbone itu adalah data. Dan kemudian dokumentasi,” imbuh Willy.
Selain UU TPKS yang disahkan DPR pada 12 April 2022, undang-undang yang dianggap sebagai keberhasilan DPR periode 2019-2024 adalah UU Nomor 4 tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan (UU KIA). UU ini merupakan inisiatif DPR.
Pengesahan UU KIA dilakukan sebagai respons terhadap berbagai tantangan yang dihadapi oleh ibu dan anak di Indonesia. Termasuk tingginya angka kematian ibu dan bayi, serta masalah gizi buruk yang masih menjadi persoalan serius.
Pembentukan UU KIA juga bertujuan untuk mengintegrasikan berbagai kebijakan dan program yang berkaitan dengan kesejahteraan ibu dan anak, serta memastikan bahwa regulasi yang ada dapat menjawab kebutuhan zaman dan meningkatkan kualitas hidup ibu dan anak di seluruh Indonesia. UU KIA mengatur tentang hak dan kewajiban, tugas dan wewenang, penyelenggaraan kesejahteraan ibu dan anak, data dan informasi, pendanaan, dan partisipasi masyarakat guna mencapai pembentukan generasi yang berkualitas.
Melalui UU KIA, DPR menunjukkan komitmen dalam memperjuangkan kesejahteraan ibu dan anak. Selain memastikan kerja kolektif dalam tumbuh kembang anak, UU KIA juga diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup keluarga, serta memberdayakan perempuan dengan melindungi hak-hak mereka, termasuk bagi ibu pekerja melalui penambahan cuti melahirkan.
Dampak panjang dari UU KIA adalah untuk menguatkan fondasi sosial dalam pembangunan nasional, mendorong terciptanya generasi masa depan yang sehat, cerdas, dan kompetitif, serta berkontribusi pada visi Indonesia emas 2045.
DPR juga dianggap berhasil dalam menciptakan Reformasi Sektor Kesehatan nasional dengan mengesahkan UU No 17 tahun 2023 tentang Kesehatan. UU yang dilakukan secara Omnibus Law itu dianggap menjadi langkah strategis dalam menyederhanakan dan memperbaiki regulasi sektor kesehatan.
UU Omnibus Kesehatan dapat memperkuat sisem kesehatan nasional, memberikan landasan hukum yang lebih jelas untuk pengelolaan fasilitas kesehatan, tenaga medis, obat-obatan, dan jaminan kesehatan masyarakat.
Pengesahan Omnibus Law tentang Kesehatan pun dianggap sebagai sebuah keberhasilan karena mewakili agenda transformasi kesehatan guna meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan secara menyeluruh. Beberapa materi muatan yang diatur melalui pengesahan RUU ini termasuk penguatan upaya kesehatan dari segi promotif, preventif, kuratif, rehabilitasi, dan paliatif.
Omnibus Law tentang Kesehatan juga memberikan landasan hukum bagi pemerataan fasilitas kesehatan, perizinan dan registrasi tenaga medis dan kesehatan, pemanfaatan teknologi kesehatan, sistem informasi kesehatan, kedaruratan kesehatan, inovasi kesehatan, serta dana kesehatan.
Selanjutnya, UU yang cukup mendapat perhatian publik pada periode DPR tahun 2019-2024 adalah Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (PDP). UU ini disusun karena minimnya perlindungan data pribadi masyarakat.
UU PDP menyediakan kerangka hukum pelindungan terhadap data pribadi WNI, memberikan keseimbangan hak individu dan publik dalam penggunaan data, hingga menjadi landasan pembentukan lembaga pengawasan pelindungan data pribadi. Sayangnya, aturan turunan PDP belum direalisasikan Pemerintah.
Di sisi lain, DPR periode ini menyepakati melakukan carry over 2 RUU ke periode DPR berikutnya. RUU Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) dan RUU Mahkamah Konstitusi (MK) akan diteruskan pembahasannya ke DPR periode 2024-2029.
“Paripurna menyepakati RUU PPRT sudah di-carryover, tentu kita sangat senang sekali. Karena kalau sekarang kan nggak mungkin, periode sekarang belum pembahasan,” ungkap Willy.
Willy yang kembali terpilih sebagai anggota DPR memastikan akan mengawal terhadap pembahasan RUU PPRT.
“Ya dinamikanya tentu ada ya. Kalau kita bukan di level keyakinan lagi, tapi sudah di level keharusan berjuang,” tegas Willy.