Bagikan:

SURABAYA - Aparat Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Surabaya mengungkap tindak pidana penipuan daring atau online scamming oleh komplotan warga negara asing.

Kasat Reskrim Polrestabes Surabaya AKBP Aris Purwanto menjelaskan komplotan warga negara asing ini tiba di Indonesia menggunakan visa wisata.

"Mereka menyewa rumah di kawasan perumahan elit Villa Centra Raya Citraland Surabaya sejak 20 Maret 2023. Dari rumah itulah komplotan ini dengan masing-masing menggunakan telepon seluler pintar beroperasi melakukan penipuan daring selama 12 jam, mulai pukul 10.00 hingga 22.00 WIB setiap hari," katanya dilansir ANTARA, Selasa, 24 September.

Sepuluh pelaku diringkus saat polisi melakukan penggerebekan di rumah tersebut. Sembilan pelaku di antaranya merupakan warga negara China. Seorang lainnya terdata sebagai warga negara Vietnam.

Selama setahun lebih komplotan ini berkantor di Villa Centra Raya Citraland Surabaya, di antaranya menawarkan berbagai jenis produk barang murah secara daring, yang per unit berkisar mulai harga Rp10 ribu hingga dua juta.

Minimal mampu menjual hingga sebanyak seribu unit barang per hari melalui aplikasi "Tiktok", "Wechat" dan "Dou Yin". Namun setelah terjadi transaksi pembayaran, barang-barang dagangan yang dijanjikan tidak pernah dikirim.

Kepolisian mengatkan komplotan tersebut juga melakukan penipuan dengan modus menjajakan cinta secara daring atau love scamming.

"Terduga yang perempuan tergabung dalam grup Wechat. Setelah memperolah teman di media sosial tersebut kemudian melakukan video seks. Kemudian melakukan pemerasan terhadap para korban," ujarnya.

Modus penipuan daring lainnya yang dijalankan oleh komplotan ini adalah memeras pejabat-pejabat di negeri China yang diketahui sedang bermasalah. Yaitu dengan menghubungi melalui telepon dan mengaku sebagai penegak hukum, yang ujung-ujungnya meminta sejumlah uang melalui transfer bank.

"Setiap pelaku mendapatkan imbalan bervariasi, mulai dari Rp5 juta 15 juta per bulan tergantung dari hasil penipuan yang didapat," uca AKBP Aris.

Para pelaku dijerat Pasal 378 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), serta Pasal 28 Ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.