Bagikan:

JAKARTA - Indonesia mendapatkan predikat sebagai negara penyumbang sampah plastik ketiga terbanyak di dunia berdasarkan hasil studi dari University of Leeds, Inggris. Ketua DPR RI Puan Maharani meminta pemerintah melakukan langkah konkrit dalam mengatasi permasalahan sampah plastik dan mengajak generasi muda untuk berpartisipasi aktif pada gerakan menjaga lingkungan.

"Ini adalah sinyal yang sangat mengkhawatirkan dan mendesak, sehingga harus dilihat sebagai krisis nasional. Pemerintah harus punya sikap tegas dalam komitmennya menyelesaikan permasalahan sampah plastik ini," ujar Puan, Kamis 12 September.

Dalam studi yang diterbitkan dalam jurnal Nature, terhitung 52 juta ton produk plastik mencemari lingkungan pada 2020, yang jika dideretkan dalam satu garis, akan membentang mengelilingi dunia lebih dari 1.500 kali. Data global pada 2020 dalam studi tersebut, Indonesia diketahui menghasilkan 3,4 juta ton sampah plastik, dan yang pertama adalah negara India dengan 9,3 juta ton kemudian disusul oleh Nigeria dengan 3,5 juta ton.

Penelitian yang menunjukan angka sampah di Indonesia sangat besar juga dihasilkan dari penelitian Pusat Riset Oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang menemukan bahwa Indonesia menjadi penyumbang sampah plastik ke-2 terbesar di dunia.

Puan menilai predikat Indonesia sebagai salah satu negara penghasil sampah plastik terbanyak bukan sekadar menunjukkan statistik, melainkan peringatan serius terhadap kegagalan sistem pengelolaan sampah di Indonesia.

“Dibutuhkan komitmen bersama dari seluruh elemen bangsa agar Indonesia dapat mengurangi sampah plastik yang akan berkontribusi terhadap suksesnya kebijakan ekonomi hijau dan melindungi ekosistem laut,” tutur perempuan pertama yang menjabat sebagai Ketua DPR RI itu.

Secara khusus, Puan mengajak generasi muda untuk berpartisipasi aktif dalam melakukan kampanye pengurangan penggunaan plastik.

“Generasi muda memiliki kemampuan yang baik untuk memberi influence, apalagi didukung dengan sarana dan berbagai akses fasilitas yang saat ini sudah cukup maju,” ungkap Puan.

“Maka saya berharap, generasi muda dapat menjadi motor penggerak di Indonesia dengan mengkampanyekan pentingnya menjaga lingkungan, termasuk dalam hal mengurangi penggunaan plastik,” imbuhnya.

Dalam mendukung pengurangan sampah plastik, Puan juga memimpin DPR lewat program DPR Hijau yang bertujuan memerangi krisis iklim. DPR Hijau ialah gerakan untuk mengurangi penggunaan plastik dan kertas di setiap satuan unit kerja lembaga legislatif tersebut.

"Gerakan DPR Hijau ini sebagai dukungan kami dalam pengurangan limbah plastik maupun bahan-bahan yang sulit didaur ulang. Ini adalah komitmen kami di parlemen untuk membudayakan gaya hidup go green," jelas Puan.

Mantan Menko PMK itu mengingatkan, penumpukan sampah plastik yang tidak terkelola dengan baik bisa mencemari lautan Indonesia yang memiliki keanekaragaman hayati laut terbesar di dunia. Puan pun mengatakan, plastik yang terbuang ke laut mengancam keberlangsungan ekosistem laut hingga merusak habitat hewan.

“Dan pada akhirnya berdampak pada sektor perikanan dan pariwisata yang menjadi tulang punggung ekonomi banyak daerah di Indonesia,” sebut cucu Bung Karno itu.

"Indonesia sebagai negara maritim pastinya mengunggulkan laut dalam berbagai sektor kehidupan. Tak hanya merusak habitat laut dan lingkungan, banyaknya sampah plastik pastinya akan menimbulkan citra buruk bagi Indonesia di mata dunia,” tambah Puan.

Puan juga menyoroti literasi dan kesadaran masyarakat dalam menangani masalah sampah plastik yang masih minim. Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sekitar 72% masyarakat Indonesia kurang peduli dengan masalah sampah.

Diketahui pula, setiap tahun Indonesia masih menggunakan 182,7 miliar kantong plastik. Komposisi sampah di Indonesia adalah 57% sampah organik, 16% sampah plastik, 10% sampah kertas, dan 17% lainnya.

"Saat ini, kampanye edukasi yang dilakukan masih bersifat sporadis dan tidak menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Sosialisasi yang ada lebih sering menyasar kelompok terbatas dan belum menjangkau sekolah-sekolah, komunitas lokal, maupun masyarakat di daerah-daerah terpencil," tukas Puan.