JAKARTA - Pengusaha meminta keringanan dari pemerintah terkait pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) kepada para karyawannya. Hal ini karena mewabahnya virus corona atau COVID-19 ini telah membuat sektor perekonomian nasional terganggu dan pelaku usaha mengalami kerugian.
Ketua Umum DPD HIPPI (Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia) Provinsi DKI Jakarta Sarman Simanjorang mengatakan, dalam kurun waktu kurang dari dua bulan ke depan pengusaha sudah harus dihadapkan dengan kewajiban memberikan THR.
"Situasi seperti ini menjadi beban tersendiri bagi pengusaha, khususnya UKM dan sebagian industri padat karya," ujarnya dalam keterangan yang diterima VOI, Kamis 26 Maret.
Sarman berujar, omzet dan profit pengusaha saat ini mengalami penurunan drastis. Meski begitu, kewajiban memberikan gaji dan THR sesuatu yang tidak dapat dielakkan.
Seperti diketahui, pemberian THR tertuang dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan (PP Pengupahan) dan Pasal 5 ayat (4) Permenaker 6/2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan. Yang berbunyi:
"THR ini wajib dibayarkan paling lambat tujuh hari sebelum hari raya keagamaan".
Sementara itu, Pasal 56 PP Pengupahan dan Pasal 10 Permenaker 6/2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan mengatur sanksi bagi pengusaha yang terlambat atau tidak membayar THR. Bunyinya:
"Pengusaha yang terlambat membayar THR kepada pekerja/buruh dikenai denda sebesar 5 persen (lima persen) dari total THR yang harus dibayar sejak berakhirnya batas waktu kewajiban Pengusaha untuk membayar (tujuh hari sebelum hari raya keagamaan). Pengenaan denda tersebut tidak menghilangkan kewajiban Pengusaha untuk tetap membayar THR kepada pekerja/buruh".
Pasal 11 ayat (1) Permenaker 6/2016 berbunyi:
"Pengusaha yang tidak membayar THR kepada Pekerja/Buruh juga dikenai sanksi administratif".
Sementara itu, Pasal 59 ayat (2) jo. Pasal 59 ayat (1) huruf a PP Pengupahan menjelaskan sanksi tersebut, berupa:
a. teguran tertulis;
b. pembatasan kegiatan usaha;
c. penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi; dan
d. pembekuan kegiatan usaha.
"Pekerja atau karyawan pasti mengharapkan THR dapat diterima full dan itu sesuatu yang wajar. Tapi bagi pelaku usaha ini sesuatu tidak normal. Pengusaha berharap pemerintah dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan dapat memberikan solusi dalam bentuk kebijakan khusus dalam rangka mengurangi beban pengusaha," kata Sarman.
Wakil Ketua Umum DPP Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) ini mengatakan, jika pelaku usaha tidak dapat memberikan sama sekali THR atau hanya mampu memberikan 50 persen, harus ada opsi. Apakah mungkin bisa ditunda sampai kondisi keuangan perusahaan memadai, yang jelas tidak menghilangkan tanggung jawab pelaku usaha.
BACA JUGA:
"Ini harus segera dievaluasi atau ditindaklanjuti oleh Kementerian Ketenagakerjaan agar sedini mungkin dapat melakukan perundingan bipartir antara perwakilan pekerja dan managamen perusahaan untuk mencari jalan terbaik," tuturnya.
Di sisi lain, Sarman mengatakan, pelaku usaha juga berharap agar para pekerja melalui serikat buruh atau serikat pekerja dapat merasakan tekanan dan beban pengusaha dalam kondisi seperti ini.
"Jangan sampai memaksakan sesuatu yang tidak dapat di berikan pengusaha, yang ujung-ujungnya mengganggu keharmonisan hubungan industrial yang sudah berjalan baik selama ini," jelasnya.
Sarman berujar, pelaku usaha dapat bertahan sampai badai wabah COVID-19 berlalu sudah merupakan sesuatu yang luar biasa. Ia berharap, kondisi ini cepat berlalu sehingga aktivitas bisnis dan perekonomian dapat pulih kembali.