KUPANG - Kepala Dinas Peternakan (Disnak) Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT), Klementina Dawo mengatakan tidak ada lagi laporan kasus kematian babi karena penyakit African Swine Fever (ASF).
"Per Juli ini sudah tidak ada lagi kasus kematian," kata Klementina ketika dihubungi dari Kupang, Antara, Kamis, 1 Agustus.
Ketiadaan kematian babi karena ASF merupakan wujud nyata komitmen pemerintah daerah untuk mengatasi penyakit tersebut, antara lain melalui pengawasan lalu lintas, edukasi yang masif, serta perilaku dalam aksi biosekuriti untuk mencegah ASF.
Secara khusus Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Nagekeo telah melarang aktivitas pemasukan ternak babi atau produk babi maupun hasil ikutan lainnya dari wilayah tertular penyakit ASF ke dalam kabupaten tersebut.
Pengawasan ketat telah dilakukan, kata dia, termasuk mengatur penghentian penjualan ternak babi di pasar atau pasar hewan untuk sementara waktu, agar dapat memutus mata rantai penularan sampai situasi penyakit dapat dikendalikan.
Berdasarkan data Disnak Kabupaten Nagekeo, dua kecamatan yang telah terdampak ASF beberapa waktu lalu yakni Kecamatan Boawae dan Aesesa terdapat ratusan babi mati karena ASF.
"Pemeriksaan kesehatan hewan serta produk hewan dan hasil ikutannya oleh petugas teknis tetap dilakukan," ucap Klementina.
Meski tidak ada lagi kasus kematian babi karena ASF, Klementina mengingatkan masyarakat untuk tidak lengah. Ia mengimbau para peternak untuk tetap waspada dan melakukan aktivitas seperti biasa sembari meningkatkan biosekuriti kandang.
Ia juga meminta peternak dan penjaga kadang untuk meningkatkan kekebalan ternak babi dengan cara pemberian pakan yang baik dan pemberian vitamin.
"Kami larang memberikan makanan hasil limbah dari olahan babi ke ternak babi," ujar Klementina.
BACA JUGA:
Lebih lanjut ia mengajak masyarakat untuk melaporkan kepada petugas kesehatan hewan di setiap desa atau kecamatan apabila ada babi yang sakit.
Beberapa tanda klinis ternak babi sakit yakni demam tinggi, depresi, tidak mau makan, pendarahan pada kulit (kemerahan pada telinga, perut, dan kaki), keguguran pada induk bunting, kebiruan pada kulit, muntah, diare, serta kematian dalam waktu 6-13 hari. "Tingkat kematian bentuk ini dapat mencapai 100 persen," katanya.