Bagikan:

JAKARTA - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengaku terus meningkatkan sistem peringatan dini belajar dari pengalaman bencana masa lalu, termasuk tsunami di Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng) pada 2018, yang terjadi dalam periode sangat cepat.

"Dari peristiwa itu kemudian kita semakin menguatkan jaringan sensor [gempa]. Sebelum tahun 2019, sensor kita hanya sekitar 170 sensor yang tersebar di Indonesia. Kemudian hingga tahun 2024 ini terjadi penambahan sensor yang signifikan sehingga sampai saat ini kita memiliki sensor gempa lebih dari 500 yang tersebar di seluruh Indonesia," katanya Dalam diskusi daring Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) diikuti dari Jakarta, Selasa 21 Mei, disitat Antara.

Dengan penambahan jumlah sensor, kata dia, maka kemampuan untuk mendeteksi gempa untuk sistem peringatan dini akan bekerja lebih baik, karena sensor tersebut tidak hanya mendeteksi gempa dengan magnitudo besar tetapi juga yang berada di level lokal atau dengan skala lebih kecil.

Selain itu, dengan Peraturan Presiden Nomor 93 Tahun 2019 tentang Penguatan dan Pengembangan Sistem Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami maka mendorong integrasi data dengan lembaga lain termasuk Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVBMG) memantau aktivitas gunung berapi di laut yang berpotensi menimbulkan tsunami.

Dia juga memastikan BMKG terus meningkatkan upaya penyebaran informasi dari sistem peringatan dini termasuk memasang Warning Receiver System (WRS) New Generation di 500 lokasi termasuk di kantor-kantor Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).

"Di sisi lain kita juga memperkuat permodelan tsunami di dalam sistem peringatan dini tsunami. Sebelum 2023, kita memiliki 18 ribu skenario permodelan tsunami, sekarang kita sudah mengembangkan lebih dari 20 ribu skenario tsunami," katanya.

Dia juga menegaskan bahwa BMKG mengembangkan peta bahaya tsunami untuk kajian risiko yang disampaikan kepada kepala daerah untuk mendorong pemahaman bahaya tsunami di wilayah masing-masing.