Bagikan:

JAKARTA - Wakil Presiden ke-10 dan 12  Jusuf Kalla (JK) menilai ketersediaan energi berlebih suatu negara justru lebih baik. Sebab, bila terjadi kekurangan akan menyebabkan masalah satu di antaranya kehilangan investor.

Pernyataan itu disampaikan saat JK menganologikan ketersediaan energi layaknya pangan. Di mana, negara harus memiliki stok atau cadangan.

“Jadi memang energi itu lebih baik lebih daripada kurang, sama dengan beras, lebih baik lebih daripada kurang,” ujar JK dalam persidangan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis, 16 Mei.

Bila kekurangan pangan, masyarakat akan menderita. Pun dengan energi. Jika terjadi permasalahan ketersediaan, maka, dampak yang terjadi sangatlah besar.

Energi yang dimaksud seperti Bahan Bakar Minyak atau BBM.

Bahkan, investor yang ada di dalam negeri disebut bila pergi jika kekurangan dalam hal energi. Terlebih, dalam tahap mendatangkan investor, negara menjanjikan kecukupan jumlah energi.

“Karena energi itu sekali saya ingin ulangi, bahwa ini ayam dan telur, kita undang investor asing ke sini dengan jaminan ada energi. Kalau investor tidak punya, kemudian tidak ada energi, mereka hilang semua di Indonesia ini,” kata JK.

Dalam kasus ini, Karen Agustiawan didakwa merugikan negara sebesar 113,84 juta dolar Amerika Serikat (AS) atau setara dengan Rp1,77 triliun akibat dugaan korupsi pengadaan gas alam cair atau LNG di Pertamina pada 2011–2014.

Dakwaan tersebut berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI dalam rangka penghitungan kerugian negara atas pengadaan LNG perusahaan AS, Corpus Christi Liquefaction LLC (CCL) pada Pertamina dan instansi terkait lainnya Nomor: 74/LHP/XXI/12/2023 tanggal 29 Desember 2023.

Karen didakwa memperkaya diri sebesar Rp1,09 miliar dan sebanyak 104.016 dolar AS atau setara dengan Rp1,62 miliar. Karen turut didakwa memperkaya suatu korporasi, yaitu CCL senilai 113,84 juta dolar AS atau setara dengan Rp1,77 triliun, yang mengakibatkan kerugian keuangan negara.

Selain itu, dia juga didakwa memberikan persetujuan pengembangan bisnis gas pada beberapa kilang LNG potensial di AS tanpa adanya pedoman pengadaan yang jelas dan hanya memberikan izin prinsip tanpa didukung dasar justifikasi, analisis secara teknis dan ekonomis, serta analisis risiko.

Karen juga disebut tidak meminta tanggapan tertulis kepada Dewan Komisaris Pertamina dan persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) sebelum penandatanganan perjanjian jual beli LNG CCL Train 1 dan Train 2 serta memberikan kuasa