Bagikan:

JAKARTA - Pada Kamis, 18 April, sore waktu New York, Amerika Serikat (AS) kembali memveto draf resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) terkait upaya Palestina untuk menjadi anggota penuh PBB.

Draf yang diajukan Aljazair tersebut didukung 12 dari total 15 negara anggota DK PBB. Sementara dua anggota DK PBB yaitu Inggris dan Swiss memilih abstain dan Amerika Serikat menolak dengan veto.

Menyikapi hal tersebut, Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI, Fadli Zon, mengecam keras langkah AS itu. ”Sangat disayangkan veto AS atas draf resolusi tersebut. Veto ini menunjukkan sikap standar ganda dan anti perdamaian. Semakin penting adanya reformasi institusi tatanan dunia. Jadi pasti ada konsekuensi dari tindakan AS itu,” ujar Fadli mengingatkan.

Konsekuensi pertama, kata Fadli, terkait tuntutan lebih keras urgensi dan kedaruratan melakukan reformasi DK PBB supaya lebih demokratis, fair, representatif, dan efektif dalam menunaikan fungsinya menjaga keamanan dan kedamaian internasional seperti tertuang di dalam Piagam PBB Pasal 24.

”Mekanisme veto terbukti seringkali menghambat penegakkan keamanan dan perdamaian internasional di berbagai konflik di dunia, terutama ketika konflik tersebut beririsan langsung dengan kepentingan negara-negara pemegang hak veto. Mekanisme veto secara faktual telah benar-benar menyandera penegakkan keamanan dan perdamaian dunia. Bukti paling sahih atas fakta tersebut adalah berlarut-larutnya konflik Palestina-Israel yang sudah hampir 80 tahun berjalan sejak 1947, termasuk kegagalan menghentikan genosida Israel yang menewaskan lebih dari 34 ribu rakyat Palestina di Jalur Gaza dengan lebih 70 persen adalah anak-anak dan perempuan,” papar mantan Wakil Ketua DPR itu.

Konsekuensi lain, kata imbuh Fadli, veto kian menegaskan dukungan membabi AS kepada Israel termasuk saat Israel melakukan genosida terhadap rakyat Palestina.

”Sekadar contoh, sebuah data intelijen yang diberikan kepada Kongres AS menyebutkan bahwa Israel telah menjatuhkan lebih dari 22.000 bom yang dipasok AS di Gaza dalam satu setengah bulan pertama perang sejak 7 Oktober 2023,” ungkap dia.

Politisi Gerindra tersebut mengakui bahwa keberpihakan AS kepada Israel sudah menjadi rahasia sangat umum lantaran lobi Zionis Yahudi yang sangat kental terhadap politik dalam negeri AS.

”AS tak layak menjadi penengah dalam menyelesaikan konflik Palestina-Israel karena bagaimanapun AS akan selalu memihak Israel. Namun saya mengingatkan keberpihakan mutlak AS kepada Israel dalam jangka panjang akan sangat merugikan rakyat AS secara keseluruhan. AS akan semakin terisolasi dan AS akan dinilai sebagai negara pendukung kejahatan perang dan pelanggar HAM. Selain itu, sikap AS tersebut akan semakin memperuncing konflik geopolitik yang melibatkan Rusia dan Cina,” tuturnya.

Terkait sikap berat sebelah AS itu, legislator Komisi I DPR itu menyerukan masyarakat global termasuk Indonesia agar terus menekan AS supaya bersikap netral dan lebih obyektif dalam menyikapi masalah konflik Palestina-Israel.”

Pada sisi lain, politisi yang juga Wakil Presiden the League of Parliamentarians for Al Quds, organisasi global pro Palestina yang berbasis di Istanbul, itu memperingatkan bahwa veto AS akan semakin menyulut berbagai tindakan unilateral terutama yang dilakukan oleh pihak pejuang-pejuang perlawanan Palestina.

”Kita tak bisa mengabaikan bahwa aksi Hamas pada 7 Oktober lalu antara lain dipicu karena tidak hadirnya keadilan global dalam menyelesaikan konflik Palestina-Israel. Alih-alih membawa keamanan dan perdamaian global, mekanisme veto justru memicu kekacauan dan peperangan atau aksi kekerasan lebih mendalam,” lanjut dia.

Hal lainnya lagi, kata politisi berdarah Minang tersebut, veto AS terakhir membuktikan bahwa mayoritas masyarakat global menghendaki pengakuan Palestina sebagai negara yang utuh dan diakui secara penuh oleh PBB.

”Pengakuan eksistensi Palestina sebagai sebuah negara hampir menjadi konsensus dunia. Bahkan beberapa negara Anggota Tetap DK PBB yang seringkali memihak Israel seperti Inggris dan Perancis sudah mulai melunak dan menyadari pentingnya pengakuan negara Palestina,” pungkas dia.