JAKARTA - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron memastikan penerbitan surat perintah dimulainya penyidikan (sprindik) baru kasus suap dan gratifikasi yang menjerat Edward Sharif Omar Hiariej atau Eddy Hiariej bukan karena kesaksiannya di sidang sengketa Pilpres 2024.
Diketahui, eks Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) itu hadir sebagai saksi ahli dari kubu Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka ketika sidang sengketa pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK). Ini merupakan penampilan pertamanya setelah statusnya sebagai tersangka dibatalkan karena memenangkan praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.
"Keberadaaan yang bersangkutan sebagai ahli dalam perkara PHPU di MK itu adalah proses hukum yang berbeda dan tidak perlu saling dikaitkan karena keduanya regim hukum yang berbeda," kata Ghufron kepada wartawan dalam keterangan tertulisnya, Sabtu, 6 April.
Ghufron memastikan diterbitkannya sprindik baru untuk Eddy karena komisi antirasuah ingiån mengusut tuntas dugaan penerimaan suap dari bos PT Citra Lampia Mandiri (CLM), Helmut Hermawan. "Kita hormati semua proses hukum ini," tegasnya.
"Tidak perlu juga ada yang baper dan membawa-bawa seakan ini tamparan bagi KPK. Tidak. Karena bagaimana pun kita hormati asas praduga tak bersalah sampai hakim memutus dengan hukum berkekuatan tetap," sambung Ghufron.
BACA JUGA:
Diberitakan sebelumnya, KPK memutuskan kembali menerbitkan sprindik untuk menjerat eks Wamenkumham Eddy Hiariej dalam dugaan penerimaan suap dan gratifikasi. Langkah ini diambil karena Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan hanya menguji keabsahan syarat formil dalam kasus tersebut.
“Substansi materi penyidikan perkara tersebut sama sekali belum pernah diuji di Pengadilan Tipikor dan praperadilan beberapa waktu lalu hanya menguji keabsahan syarat formil saja,” kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri kepada wartawan, Jumat, 5 April.
Ali memastikan komisi antirasuah akan segera menerbitkan surat perintah dimulainya penyidikan (sprindik). Keputusan diambil setelah adanya gelar perkara.
Adapun dalam kasus ini, Eddy bersama dua anak buahnya ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dugaan suap dan gratifikasi. Ia diduga menerima uang dari Helmut Hermawan yang merupakan bos PT Citra Lampia Mandiri (CLM) hingga Rp8 miliar.
Pemberian diduga dilakukan Helmut untuk pengurusan administrasi di Kementerian Hukum dan HAM, dan janji pemberian SP3 kasus di Bareskrim. Uang yang diterima kemudian digunakan untuk keperluan Eddy, salah satunya untuk maju sebagai ketua Pengurus Pusat (PP) Persatuan Tenis Seluruh Indonesia (PELTI).