JAKARTA - Gejolak konflik di Partai Demokrat semakin panas usai satu per satu kader hingga pendiri menyatakan mendukung pelaksanaan Kongres Luar Biasa (KLB) yang bakal digelar pertengahan bulan ini.
Perang semakin terbuka pasca mantan kader yang dipecat Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) membongkar fakta sejarah. Mulai dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bukan pendiri partai Demokrat hingga mengubah aturan kepartaian demi memuluskan langkah anak sulungnya menjadi pimpinan partai berlogo bintang mercy.
Bahkan, rencana KLB sudah terencana jauh sebelum AHY diproyeksikan sebagai caketum. Rencana ini timbul akibat kekecewaan pendiri dan kader yang melihat tingkah SBY yang meresahkan. Salah satunya mengubah AD/ART secara sepihak tanpa sepengatahuan mayoritas kader.
Rencana KLB sebelum AHY jadi Ketum
Salah seorang pendiri Demokrat, Hencky Luntungan, mengungkapkan Kongres Luar Biasa (KLB) sudah direcanakan enam bulan sebelum kongres penetapan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai Ketum, dengan alasan demi menyelamatkan partai.
"Bukan kami baru bicara, tapi enam bulan sebelumnya pelaksanaan kongres kami sudah bicara. Waktu itu di Simatupang, sebelum AHY terpilih," ujar Hencky dalam konferensi pers di Mega Kuningan, Jakarta, Sabtu, 27 Februari.
Hencky menuturkan, sejak awal, pihaknya mendukung agar KLB diadakan secara terbuka. Namun, kata dia, ada pihak yang menutup kesempatan pihak lain untuk memimpin Demokrat. Ia tak menjelaskan siapa pihak yang dimaksud.
"Yang menyatakan agar KLB dilakukan secara terbuka. Kami sudah melakukan itu. Tapi oleh karena beliau-beliau yang merasa hebat, menutup pintu untuk orang lain ikut di dalam pertarungan sebagai ketua," ungkapnya.
KLB, Kekecewaan Kader usai SBY Ubah AD/ART
Mantan Wakil Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Demokrat Kalimantan Timur, Rahmadi Kasim, akhirnya buka suara terkait kisruh pelaksanaan Kongres Luar Biasa (KLB). Menurutnya, kondisi partai semakin memprihatinkan dengan citra Partai Demokrat sebagai partai dinasti.
Apalagi kata dia, sejak Partai Demokrat dipimpin oleh Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), aturan dalam kepartaian sudah menyimpang dari ketentuan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART).
"Dari SBY memimpin sebagai Ketua Umum dilanjutkan oleh anaknya Mas AHY, itu tatanan berorganisasinya menyimpang dari ketentuan AD/ART," ujar Rahmadi Kasim dalam keterangannya, Rabu, 3 Maret.
Rahmadi mengaku pernah menuntut Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat menjadi ketua umum secara perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Lantaran diduga telah mengubah secara sepihak hasil keputusan Kongres ke-IV Partai Demokrat. Ada indikasi, SBY ingin menguasai dan mendinastikan PD menjadi partai keluarga.
"Ketika saya tuntut dan seterusnya berproses di pengadilan, akhirnya itu dibetulkan dalam Rakernas diperluas di Mataram, berarti apa yang saya tuntutkan benar," bebernya.
Selain itu, menurutnya, keanehan juga terjadi dalam Kongres tahun 2020 yang didalamnya hanya membahas terkait suksesi ketua umum, namun tidak ada pembahasan-pembahasan Komisi yang menyangkut organisasi dan kaderisasi. Lalu saat itu juga tiba-tiba muncul lagi AD/ART yang dibuat di luar Kongres.
"Kita mau meluruskan ke depan reaksi yang muncul di daerah seperti di Kalimantan tentunya, mereka meminta supaya kalau memang tidak bisa dimusyawarahkan, di KLB-kan. Berarti KLB ini penuh dengan dukungan arus-arus bawah," tegas Rahmadi.
Bahkan, jika berbalik kebelakang, sejumlah kader juga pernah menggugat Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM). SBY dituding melanggar UU Nomor 2 tahun 2011 tentang partai politik, pasal 5 ayat 1 dan 2 karena mengubah AD/ART partai secara sepihak usai Kongres Demokrat di Surabaya pada 2015 lalu.
Setelahnya, kader Partai Demokrat Sahat Saragih meminta Kementerian Hukum dan HAM membekukan kegiatan di partainya.
"Kami minta AD/ART dibekukan karena itu bukan hasil kongres. Jadi yang didaftarkan itu bukan hasil kongres tetapi atas perubahan oleh Pak SBY," ujar Sahat di Jakarta, Rabu, 26 April 2017.
SBY, Orang Pertama yang Lakukan Kudeta di Demokrat
Diketahui, Partai Demokrat memecat 7 kader secara tidak hormat. Salah seorang yang tidak terima diberhentikan secara paksa itu akhirnya melaporkan AHY ke pengadilan dengan gugatan tindakan melawan hukum. Yakni, Jhoni Allen Marbun yang kemudian juga membongkar 'kebusukan' SBY.
Jhoni Allen Marbun menuding SBY merupakan sosok yang sebenarnya melakukan kudeta di tubuh partai Demokrat. Kudeta itu dilakukan SBY terhadap eks Ketum Demokrat Anas Urbaningrum yang saat itu terjerat kasus korupsi.
"Siapakah orang yang pernah mengudeta Partai Demokrat? Mari kita buka fakta sejarah. Pada saat Anas Urbaningrum terpilih sebagai Ketum Partai Demokrat secara Demokratis pada kongres kedua di Bandung tahun 2010, dalam perjalanannya Anas tersandung masalah hukum," kata Jhoni.
Kala Anas tersandung kasus hukum, SBY melakukan kudeta. SBY mengambil kekuasaan Anas dengan membentuk sebuah presidium.
"Namun belum status tersangka, SBY selaku Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat dan juga Presiden RI mengambil kekuasaan ketum Anas Urbaningrum dengan cara membentuk presidium di mana ketuanya adalah SBY, wakil ketua Anas Urbaningrum yang tidak memiliki fungsi lagi dalam menjalankan roda Partai Demokrat sebagai ketum," jelasnya.
Setelah Anas menjadi tersangka kasus korupsi, Jhoni menuturkan, SBY kembali membangun strategi dalam KLB partai tahun 2013. SBY meminta Jhoni membujuk Marzuki Alie agar tak maju sebagai ketum. SBY disebut berjanji hanya ingin melanjutkan kepemimpinan Anas.
"Inilah kudeta yang pernah terjadi di tubuh Partai Demokrat setelah Anas menjadi tersangka, terjadilah KLB pertama atau kongres ketiga Partai Demokrat di Bali tahun 2013 untuk melanjutkan sisa kepemimpinan Anas hingga 2015," kata Jhoni.
Dalam kongres Demokrat di Surabaya, menurut dia, SBY juga merekayasa jalannya kongres agar ia menjadi calon tunggal caketum. Dia menyebut eks Ketum Demokrat itu telah ingkar janji kepada seluruh kader partai Demokrat.
Rekayasa SBY jadikan Demokrat Partai Dinasti
Jhoni Allen juga membeberkan bahwa SBY sudah melakukan rekayasa dalam kongres partai ke-V yang menetapkan AHY sebagai ketum. Saat itu, tak ada pembahasan tata tertib kongres.
"Selanjutnya pada kongres kelima, 15 Maret 2020 di Senayan, Jakarta kembali SBY merekayasa tata cara kongres tidak sesuai sebagaimana mestinya. Pembahasan tata tertib acara tidak dilakukan di mana salah satu isinya membahas syarat dan tata cara pemilihan ketum," kata Jhoni.
Dalam kongres itu, kata Jhoni, SBY tak menyampaikan laporan pertanggungjawabannya sebagai ketum. Lalu selama kongres berlangsung, peserta yang tak memiliki hak suara diusir dari area pelaksanaan kongres.
Lalu, Presiden ke-6 RI itu juga dituding mendesain seluruh ketua DPD mendorong AHY menjadi ketum agar aklamasi tercapai.
"Selanjutnya SBY mendesain ketua-ketua DPD seluruh Indonesia untuk men-declare AHY sebagai ketum itulah yang mereka sebut aklamasi. Makanya AHY berada di puncak gunung tidak pernah mendaki. Oleh sebab itu, AHY selaku ketum tidak tahu cara turun gunung sehingga bapaknya SBY, yang saya hormati, menjadi turun gunung. Inilah yang disebut krisis kepemimpinan," jelas Jhoni.