Tak Dilaporkan ke Bawaslu, Gugatan Pelanggaran Administratif Pemilu Kehilangan Objek
Abdul Chair Ramadhan, pakar hukum tata negara (dok. Mahkamah Konstitusi).

Bagikan:

JAKARTA – Pakar Hukum Tata Negara, Abdul Chair Ramadhan, menilai bahwa gugatan terhadap dugaan adanya pelanggaran administratif pemilu yang dilaporkan pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD ke Mahkamah Konstitusi (MK) telah kehilangan objek.

Soalnya, harus ada laporan dugaan pelanggaran administatif pemilu terlebih dahulu yang diajukan kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sesuai Pasal 12 Peraturan Bawaslu Nomor 8 Tahun 2022 sebelum penetapan hasil perolehan suara Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden oleh KPU. Bila tidak maka akan menimbulkan konsekuensi hukum.

"Kedua kondisi yang berbeda tersebut menimbulkan konsekuensi hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Peraturan Bawaslu Nomor 8 Tahun 2022. Jika ada permohonan kepada MK sepanjang ada laporan dugaan pelanggaran administratif pemilu kepada Bawaslu maka Bawaslu harus menghentikan laporan tersebut dan disampaikan kepada MK dalam sidang PHPU."

"Sebaliknya, jika tidak ada permohonan kepada MK maka Bawaslu memeriksa, mengkaji, dan memutus laporan tersebut," tutur Abdul dalam keterangan tertulis, Jumat, 29 Maret 2024.

Dia menyatakan baik kubu Capres-Cawapres 01 maupun 03 sebelumnya tidak menyampaikan laporan dugaan pelanggaran administratif pemilu kepada Bawaslu. Karena itu, dugaan pelanggaran administratif pemilu yang digugat ke MK telah kehilangan objeknya.

"Pada perkara a quo, kedua pemohon ternyata tidak menyampaikan laporan dugaan pelanggaran administratif pemilu kepada Bawaslu. Hal ini berdampak bahwa dugaan pelanggaran administratif pemilu dianggap tidak pernah ada. Dugaan pelanggaran administratif pemilu telah kehilangan objeknya meski ada permohonan PHPU-Pres kepada MK, tapi tidak ada laporan dugaan pelanggaran administratif kepada Bawaslu," tuturnya.

"Menjadi lain halnya jika pemohon tidak mengajukan PHPU-Pres, tetapi membawa perkara tersebut kepada Bawaslu. Dalam hal ini, Bawaslu berdasarkan kompetensinya dapat merekomendasikan pembatalan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden atas dasar putusan Bawaslu tentang pelanggaran administratif pemilu secara TSM kepada KPU. KPU yang akan memutuskan perihal diskualifikasi tersebut," kata Abdul.

Selain itu, Ketua Umum Persatuan Doktor Pascasarjana Hukum Indonesia tersebut juga menegaskan bahwa MK tidak berwenang mengadili pelanggaran administratif pemilu yang menggunakan pendekatan kualitatif. Soalnya, MK hanya berwenang menangani penghitungan suara dengan pendekatan kuantitatif.

"Yang menjadi petitum kedua pemohon yakni paslon nomor urut 1 dan 3 adalah menyangkut dugaan adanya pelanggaran administrasi pemilu, utamanya secara Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM)."

"Namun, dalil tersebut harus memiliki kualitas untuk kemudian berkorespondensi dengan perolehan suara sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU)."

"Dalam hal ini, penentuannya adalah hubungan sebab-akibat (kausalitas). Berhenti sampai di sini, perlu ditegaskan bahwa pelanggaran administrasi pemilu dan termasuk yang terjadi secara TSM adalah mutlak kewenangan Bawaslu," kata Abdul.