JAKARTA - Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri menyebut 1.407 mahasiswa menjadi korban kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) modus program magang atau ferien job di Jerman. Saat ini, seluruhnya telah pulang ke Indonesia sejak Desember 2023.
"Saat ini seluruh korban perlu diketahui sudah ada di Indonesia karena memang kontra program magang ini telah habis pada Desember 2023," ujar Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko kepada wartawan, Jumat, 22 Maret.
Meski seluruh korban sudah kembali ke tanah air, penyidik masih mengusut kasus tersebut. Koordinasi dengan KBRI di Jerman dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terus dilakukan.
"Terkait koordinasi kolaborasi tadi kami sampaikan penyidik untuk mengungkap kasus ini tetap akan melakukan kolaborasi kerja sama dan koordinasi baik itu Kemendikbud maupun KBRI," sebutnya.
Terlebih, dari lima orang yang ditetapkan tersangka, dua di antaranya masih berada di Jerman.
Adapun, para tersangka berinisial ER alias EW; A alias AE, SS, AJ dan MJ.
"Ada beberapa tersangka yang masih ada di sana perlu kami sampaikan dan informasi dari penyidik, penyidik secara simultan terus berkesinambungan melakukan proses penyidikan," kata Trunoyudo.
Kasus TPPO modus program magang ini terbongkar setelah empat mahasiswa yang menjadi korban mendatangi KBRI di Jerman. Mereka memberitahukan apa yang dialami.
KBRI pun menelusuri program magang yang dimaksud. Ternyata ada 33 Universitas di Indonesia yang turut menjalankan program tersebut. Tercatat sekitar 1.407 mahasiswa telah diberangkatkan.
Program magang itu diketahui disosialisaikan oleh PT CVGEN dan PT SHB. Kedua perusahaan tersebut menjanjikan masiswa bisa magang di Jerman.
Namun, mereka diminta untuk membayar Rp150 ribu dan 150 Euro. Alasannya sebagai biaya pembuatan letter of acceptance (LOA) kepada PT SHB.
Tak hanya itu, mereka juga diminta membayar lagi 200 Euro kepada PT SHB. Peruntukannya pembuatan approval otoritas Jerman atau working permit.
BACA JUGA:
"Mahasiswa juga dibebankan Rp30-50 juta sebagai talangan," sebutnya. "Namun mahasiswa tersebut dipekerjakan secara non prosedural sehingga mahasiswa tersebut tereksploitasi," sambung Trunoyudo.