Bagikan:

JAKARTA - Penularan virus corona atau COVID-19 di Indonesia kian melonjak. Selama 11 hari, sejak diumumkan pertama kali pada 2 Maret hingga hari ini, tercatat sudah ada 69 pasien positif virus corona.

Dorongan pembukaan data persebaran virus corona kian didengungkan. Sebab, tak dapat dielak bahwa virus yang berasal dari kota Wuhan, China tersebut dapat dikatakan sebagai gunung es. Maksudnya, dari situasi yang dihadapi Indonesia yang kini terlihat, tanpa disadari terpendam masalah yang lebih besar lagi.

Ketua Satuan Tugas COVID-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zubairi Djoerban meminta untuk membuka data soal riwayat perjalanan pasien positif virus corona. Sebab, badan kesehatan dunia, WHO sudah menetapkan virus ini sebagai wabah yang mendunia (pandemi).

"Perlu sekali (membuka data riwayat perjalanan). Sekarang kan masalahnya pandemi itu bukan masalah penyakit biasa, kalau masalah penyakit biasa memang sebaiknya tidak dibuka. Kita mesti mengatasi sesuatu yang ada di depan mata, yang bakal segera gawat," kata Zubairi di Kantor IDI, Jakarta Pusat, Jumat, 13 Maret.

Pemerintah RI, kata Zubairi, mesti berkaca dari kasus corona di Italia. Penularan virus corona di sana melonjak empat kali lipat dalam enam hari. Pada 1 Maret, kasus positif corona di Italia masih sebesar 1.228. Kemudian, pada 7 Maret, kasus naik menjadi 4.636. Sampai saat ini, lebih dari 12 ribu pasien positif di sana.

Hal ini, diakibatkan pada kurangnya pencegahan dari otoritas, bahwa virus corona sudah beredar di Italia pada akhir Januari namun belum terdeteksi.

"Misalnya, beberapa orang sudah dibilang (kawasan) ini tutup, enggak boleh berpergian. Kenyataanya, kemudian berpergian ke kawasan tersebut. Mulai dari situ, pada saat dia pulang, nular-nularin ke banyak orang," jelas dia.

"Jadi, kalau untuk kesehatan, (pembukaan data) menjadi perlu sekali, karena kita harus contact tracing, menelusuri," lanjutnya.

Terpisah, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meminta pemerintah pusat, yakni Kementerian Kesehatan untuk memberi wewenang kepada Pemprov DKI untuk turut melakukan uji spesimen pasien suspect corona. Sebab, Jakarta menjadi provinsi dengan jumlah pasien positif terbanyak.

"Kami berharap sekali, bahwa arahan bapak presiden untuk koordinasi dengan daerah itu di lakukan juga dengan pengujian tidak dilakukan terpusat di Balitbangkes (Kemenkes) saja, tapi bisa juga dilakukan di Jakarta," ucap Anies.

Caranya, Anies mengajukan tiga laboratorium, di antaranya Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) DKI, Eijkman Jakarta Pusat, dan mikrobiologi fakultas kedokteran Universitas Indonesia (UI).

Tambahan tiga laboratorium ini, kata Anies, bisa mempercepat proses penanganan pada pasien yang diindikasi terjangkit corona. Pasalnya jumlah pasien yang harus diuji terus bertambah setiap harinya.

"Kami di Jakarta memiliki Labkesda DKI Jakarta. Itu statusnya BSL 2+. BSL 2+ itu artinya Bio Safety Level-nya dua plus. Bukan Bio Security, ini Bio Safety Level. Dan ini bisa menjadi laboratarium pendamping," kata Anies.

Dengan demikian, begitu ada pasien suspect corona yang harus diuji, Pemprov bisa langsung menguji dan mendapatkan hasilnya, karena dalam satu hari bisa selesai. Kemudian DKI bisa langsung bisa mendeteksi di mana saja mereka, lalu menentukan langkah-langkah pengisolasian atau pembatasan pergerakan pasien tersebut.

"Tapi bila pengujian memerlukan waktu yang lama, dalam masa itu pula pribadi-pribadi ini sudah berinteraksi dengan begitu banyak orang, penyebaran terjadi. Ketika konfirmasi positif hadir, dia sudah terlanjur berinteraksi dengan begitu banyak orang," ungkapnya.

"Kita tidak punya cukup waktu untuk menunggu. Kita memiliki kewajiban melindungi semua. Karena itu penting sekali bagi kita untuk bergerak cepat dan lebih cepat. Karena itu, akses untuk menguji harus dilakukan. Transparansi harus ada. Dari situ, perlindungan bisa dilakukan. Tanpa kecepatan, tanpa transparansi, kita sulit sekali untuk bisa mencegah terjadinya penularan," tutup Anies.