JAKARTA - Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI, Rahmat Bagja, menegaskan bahwa pelanggaran pidana Pemilu akan tetap ditindaklanjuti dengan serius, meskipun memiliki karakteristik khusus yang tidak mengikuti KUHAP.
Rahmat membeberkan data Bawaslu dari tahap awal Pemilu 2024 hingga saat ini terdapat 266 kasus pelanggaran kode etik penyelenggaraan Pemilu. Selain pelanggaran kode etik, terdapat juga 140 kasus pelanggaran hukum lainnya yang tercatat.
"Ini termasuk pelanggaran administrasi yang telah terbukti sebanyak 71 kasus dan pelanggaran pidana sebanyak 63 kasus. Hampir setengah dari kasus pidana ini terbukti, menunjukkan adanya kebutuhan mendesak untuk penegakan hukum yang lebih efektif dalam pemilu," ujarnya dalam Dialog Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) yang mengangkat tema 'Mengawal Rekapitulasi Penghitungan Suara Pemilu', Rabu 13 Maret.
Dari sisi pelaporan, ia melanjutkan, ada sekitar 1.500 laporan masuk, di tambah dengan 700 temuan oleh Bawaslu. Menurutnya, proses penanganan kasus berdasarkan laporan maupun temuan itu menjadi tantangan tersendiri bagi Bawaslu. Namun, Rahmat menekankan bahwa Bawaslu berkomitmen untuk menindaklanjuti setiap kasus yang memiliki bukti yang cukup, termasuk kasus yang viral di media sosial maupun yang tidak.
Hal ini dikarenakan penanganan kasus ini mencerminkan upaya untuk mempertahankan integritas pemilu dan memastikan bahwa setiap pelanggaran mendapatkan tindakan sesuai hukum yang berlaku.
Di sisi lain, Ia pun mengakui bahwa celah untuk pelanggaran selalu ada, mengingat faktor manusia yang terlibat dalam pesta demokrasi dengan skala yang sangat besar ini. Namun, yang terpenting bagi Bawaslu adalah bagaimana pelanggaran tersebut dapat mempengaruhi hasil pemilu.
"Setiap suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan setiap suara dalam rekapitulasi harus memiliki bobot yang sama dalam menentukan hasil akhir," tegas dia.
Sengketa Pemilu
Dalam sejarah pemilu di Indonesia, Rahmat menyebutkan sengketa Pemilihan Legislatif (Pileg) selalu mendominasi jika dibandingkan dengan sengketa yang menyangkut Pemilihan Presiden (Pilpres).
Secara khusus, ia pun menyoroti kasus perubahan Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Kuala Lumpur, Malaysia. Ia memaparkan bahwa terdapat indikasi pelanggaran yang dilakukan tanpa mengikuti prosedur yang ditetapkan oleh Undang-Undang.
Di Kuala Lumpur, jumlah pemilih yang terverifikasi hanya 68 ribu dari total sekitar 440 ribu WNI. Kasus ini pun menjadi titik awal yang mengungkap adanya masalah pencatatan warga negara Indonesia di luar negeri, sehingga memerlukan evaluasi mendalam terhadap metode pos yang digunakan.
Baca juga:
"Padahal Presiden Jokowi pernah menekankan bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak boleh mengabaikan aspek administratif yang menjadi pondasi penting dalam penyelenggaraan pemilu," tegasnya.
Sejak 2008, lanjut Rahmat, Bawaslu telah mengawal proses pemilu dan berhasil membawa tindak pidana pemilu ke pengadilan, termasuk kasus di Kuala Lumpur. Hanya saja, untuk kasus yang di luar negeri kompleksitas tindak pidananya menambah kerumitan dalam penanganan kasus dimaksud.
Oleh karena itu, ia pun mengaku merasa bangga dapat membawa kasus di Kuala Lumpur masuk ke tahap pengadilan.
"Dalam sejarah pengawalan pemilu sejak 2008, tindak pidana pemilu di luar negeri dapat ke pengadilan, ‘pecah telur’ sekarang!" tuturnya dengan bangga.