JAKARTA - Juru bicara PBB Stephane Dujarric menyampaikan keprihatinan atas rencana evakuasi warga sipil dari Rafah, Gaza, oleh perdana menteri Israel.
“Kami sangat khawatir dengan nasib warga sipil di Kota Rafah,” kata Dujarric dilansir ANTARA, Sabtu, 10 Februari.
Pernyataan itu disampaikan setelah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memerintahkan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) untuk mengembangkan rencana ganda guna mengevakuasi warga sipil dari Rafah dan untuk mengalahkan batalyon Hamas yang tersisa.
“Yang pasti, masyarakat harus dilindungi, tetapi kami juga tidak ingin melihat pengungsian paksa, pengungsian massal secara paksa, yang menurut definisi bertentangan dengan keinginan mereka,” ujar Dujarric.
Dia juga menegaskan PBB tidak akan mendukung evakuasi paksa dengan cara apa pun, yang melawan hukum internasional.
“Kepadatan penduduk Rafah yang belum pernah terjadi sebelumnya membuat upaya untuk melindungi warga sipil jika terjadi serangan darat hampir mustahil,” katanya.
Menurut Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA), lanjut Dujarric, situasi stagnan di Rafah telah mencapai titik di mana rute-rute biasa diblokir tenda-tenda yang didirikan keluarga-keluarga yang mencari tempat datar dan bersih.
Dalam tiga bulan belakangan, kota (Rafah) telah menghasilkan sampah yang setara dengan jumlah sampah selama setahun, menurut pemerintah kota itu.
BACA JUGA:
“OCHA mengatakan krisis makanan, air bersih, layanan kesehatan dan fasilitas sanitasi mengakibatkan penyakit dan kematian yang seharusnya dapat dicegah,” kata Dujarric.
Meskipun sudah ada keputusan sementara dari Mahkamah Internasional, Israel terus menggempur Jalur Gaza, di mana sedikitnya 27.947 warga Palestina, kebanyakan perempuan dan anak-anak, terbunuh dan 67.459 orang lainnya terluka sejak 7 Oktober, menurut otoritas kesehatan Palestina.
Israel meluncurkan serangan ke Jalur Gaza sejak kelompok Palestina Hamas melakukan serangan lintas batas yang menurut Tel Aviv telah menewaskan hampir 1.200 orang.
PBB menyebutkan agresi Israel telah menyebabkan 85 persen penduduk Gaza mengungsi di tengah krisis makanan, air bersih dan obat-obatan, dengan 60 persen infrastruktur di wilayah kantong itu rusak atau hancur.