JAKARTA - Cawapres nomor urut tiga, Mahfud MD mengatakan politik dinasti sebenarnya sering terjadi di banyak negara. Tapi, menjadi masalah ketika upaya ini jadi alasan untuk merekayasa hukum yang berlaku.
Hal ini disampaikan Mahfud menjawab pertanyaan soal Mahkamah Konstitusi (MK) yang pernah membatalkan pasal berkaitan dinasti politik saat gugatan atas UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota atau UU Pilkada.
“Yang jadi masalah kalau untuk memenuhi kebutuhan dinasti politik itu, melakukan rekayasa hukum terhadap hukum yang berlaku, sehingga yang tidak boleh dilakukan, lalu dilakukan menggunakan pendekatan-pendekatan yang kasar,” kata Mahfud saat acara ‘Tabrak Prof!’ yang dikutip pada Jumat, 26 Januari.
Mahfud kemudian menjelaskan politik dinasti ini seringkali tidak objektif untuk kepentingan rakyat. Tapi, muncul upaya dari sang induk untuk tetap melanggengkan keluarganya yang harusnya tidak boleh.
“Itu yang tidak boleh, dan itu sebenarnya jorok kalau dilakukan oleh pemerintah sebesar negara kesatuan Republik Indonesia ini,” tegasnya.
Sebagai informasi, pada 2015 lalu dilakukan sidang uji materil UU Pilkada Pasal 7 huruf r terkait dengan syarat yang melarang bakal calon kepala daerah memiliki hubungan darah/perkawinan dengan petahana. Pasal ini dianggap bertentangan dengan Pasal 28 i ayat (2) UUD 1945.
BACA JUGA:
MK melihat Pasal 7 huruf memicu rumusan norma baru yang tidak dapat digunakan karena tidak memiliki kepastian hukum. Selain itu, dilegalkannya seseorang yang memiliki hubungan darah/perkawinan dengan kepala daerah dapat membuat politik dinasti.
Namun, hal tersebut tidak dapat dijadikan alasan. Sebab undang-undang dasar mengatur supaya tidak terjadi diskriminasi, apabila dipaksakan justru terjadi inkonsistusional.