Bagikan:

JAKARTA - Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) menggugat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait tak kunjung ditahannya eks Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Koordinator MAKI Boyamin Saiman menyebut langkah ini dilakukan untuk mendesak KPK segera menahan Eddy Hiariej yang telah berstatus tersangka di kasus dugaan penerimaan suap dan gratifikasi.

"Gugatan praperadilan ini dalam rangka 'memaksa' KPK berlaku adil yaitu melakukan penahanan terhadap tersangka Edy Hariej," ujar Boyamin dalam keteranganya, Selasa, 23 Januari.

Penahanan terhadap Eddy Hiariej harus segera dilakukan. Sebab, KPK telah menahan Helmut Hermawan yang juga berstatus tersangka pemberi suap.

Alasan lainnya KPK mesti segera melakukan penahanan yakni ancaman pidana terhadap penerima suap yang merupakan pejabat negara di atas lima tahun.

"Berdasar Pasal 5, 6, 11, dan 12 Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi, dalam kasus suap ancaman hukuman oknum pejabat penerima suap diancam hukuman penjara lebih tinggi daripada pemberi suap, bahkan bisa maksimal 20 tahun," ucap Boyamin.

"Sedangkan pemberi suap maksimal 5 tahun sehingga dari ancaman hukuman semestinya titik berat pada oknum pejabat penerima suap sehingga semestinya jika pemberi ditahan maka penerima semestinya dilakukan penahanan," sambungnya.

Walaupun saat Edy Hariej melakukan praperadilan soal tidak sahnya penetapan tersangka di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, kata Boyamin, KPK tetap bisa melakukan penahanan. Sebab, belum ada putusan terkait gugatan tersebut.

"Karena gugatan yang diajukan Edy Hariej belum diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan," kata Boyamin.

Adapun, gugatan praperadilan yang didaftatkan MAKI teregistrasi dengan nomor perkara 14/Pid.Prap/2024/PN.JKT.SEL.

see_also]

- https://voi.id/berita/350611/ganjar-kembali-sarankan-pejabat-maju-pilpres-mundur-dari-jabatannya-termasuk-mahfud-md

- https://voi.id/berita/350596/kepala-bkpm-hingga-menteri-bumn-dukung-prabowo-gibran-ganjar-yang-penting-jangan-pakai-fasilitas-negara

- https://voi.id/berita/350560/anies-janji-angkat-715-ribu-guru-honorer-jadi-pppk

- https://voi.id/berita/350558/ucapkan-selamat-ulang-tahun-ke-megawati-prabowo-unggah-foto-lawas-mega-pro

- https://voi.id/berita/350541/jokowi-kirimkan-bunga-anggrek-ke-teuku-umar-untuk-megawati-yang-rayakan-ultah-ke-77

[/see_also]

 

Eddy ditetapkan sebagai tersangka penerima suap. Dia diduga menerima duit hingga Rp8 miliar yang dibagi beberapa kali untuk sejumlah keperluan yang melibatkan bos PT CLM, Helmut Hermawan.

Penerimaan pertama Eddy dilakukan setelah dia setuju memberikan konsultasi administrasi hukum umum sengketa kepemilikan PT CLM. Ketika itu Helmut memberi uang sebesar Rp4 miliar.

Kemudian, dia juga menerima Rp3 miliar untuk menghentikan proses hukum yang melibatkan Helmut di Bareskrim Polri melalui penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).

Terakhir, Eddy diduga menggunakan kuasa sebagai Wamenkumham untuk membuka blokir PT CLM dalam Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) Kemenkumham. Ia lantas menerima uang Rp1 miliar yang digunakan untuk mencalonkan diri sebagai Ketua Pengurus Pusat Persatuan Tenis Seluruh Indonesia (PP Pelti).

KPK menduga penerimaan ini dilakukan Eddy melalui dua orang sebagai perwakilan dirinya. Mereka adalah pengacara bernama Yosi Andika Mulyadi dan Yogi Arie Rukmana yang merupakan asisten pribadinya yang turut jadi tersangka dalam kasus ini.