KUPANG - Penjabat Gubernur Nusa Tenggara Timur Ayodhia Kalake mengaku telah membentuk satuan tugas Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di daerah itu untuk menindak para pejabat di NTT yang diduga terlibat atau menjadi dalang di balik kasus TPPO di daerah itu.
“Kasus TPPO menjadi salah satu prioritas saya ketika saya ditugaskan ke NTT,” katanya kepada wartawan saat ditemui di Kantor Dinas Kominfo NTT di Kota Kupang dilansir ANTARA, Senin, 22 Januari.
Dia mengatakan hal ini menanggapi munculnya rilis yang dikeluarkan oleh Kedutaan Besar dan Konsulat Amerika Serikat di Indonesia yang berjudul Laporan Tahunan Perdagangan Orang 2023 untuk klasifikasi tingkat dua.
Ayodhia mengaku telah mendapatkan informasi tentang rilis yang dikeluarkan oleh Kedubes AS di Indonesia itu. Namun ia belum tahu siapa pejabat-pejabat di NTT yang dimaksud.
Ayodhia mengatakan tim yang dibentuk itu juga bertugas untuk mensosialisasikan bahaya perekrutan tenaga kerja di wilayah-wilayah yang kasus TPPO banyak.
“Masalah TPPO ini memang kompleks, jadi kita tidak hanya melarang orang untuk mencari kerja di luar negeri, tetapi saya lebih memilih menyediakan solusi agar masalah ini tidak terus berlanjut,” ujar dia.
Salah satu hal yang menjadi solusi adalah peningkatan kemampuan kerja dari calon pekerja migran, karena NTT sendiri telah memiliki balai latihan kerja (BLK).
BACA JUGA:
Menurut dia, BLK itu bisa dimanfaatkan untuk memberikan pelatihan kepada para calon pekerja sehingga mempunyai kemampuan dan kedepannya tidak hanya memikirkan bekerja di luar NTT seperti bekerja di kebun kelapa sawit.
Sebelumnya website resmi Kedubes AS di Indonesia mengunggah rilis soal kasus perdagangan orang di Indonesia tahun 2023.
Rilis tersebut menjelaskan pejabat di Provinsi NTT terlibat TPPO yang sudah dilaporkan, namun demikian tidak ada tindak lanjut hukum.
Dalam rilis tersebut tidak disebutkan siapa pejabat-pejabat itu. Namun dijelaskan para pejabat itu telah memfasilitasi penerbitan dokumen palsu, menerima suap yang memungkinkan calo mengangkut pekerja migran tanpa dokumen melintasi perbatasan.
Kemudian diduga melindungi tempat-tempat terjadinya perdagangan seks, terlibat dalam intimidasi saksi, dan secara sengaja melemahkan praktik pengawasan agar agen-agen perekrutan ini terhindar dari tanggung jawab.