Bagikan:

JAKARTA - Deepfake, salah satu tipe dari kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI), menurut pakar keamanan siber Dr. Pratama Persadha, memiliki potensi yang sangat berbahaya terhadap pemilu dan proses demokrasi secara keseluruhan.

Di tengah masa kampanye Pemilu 2024, muncul istilah Generative AI atau Gen AI yang merupakan sebutan untuk teknologi kecerdasan buatan yang mampu menghasilkan konten, gambar, teks, atau data baru yang memiliki karakteristik seperti manusia.

Gen AI, menurut Pratama, telah diterapkan dalam berbagai bidang, seperti pembuatan gambar realistis, pembuatan teks, bahkan untuk keperluan keamanan siber.

Gen AI merupakan suatu teknologi yang mau tidak mau harus dihadapi oleh semua pihak, termasuk Indonesia. Beberapa negara lain yang berusaha mengatur penggunaan Gen AI, antara lain, Australia, Inggris, Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Uni Eropa, Prancis, Irlandia, Israel, Italia, Jepang, Spanyol, dan Amerika Serikat.

Dijelaskan pula bahwa deepfake adalah rekaman audio atau video yang telah disunting dengan kecerdasan buatan (AI) sehingga tampak seolah-olah orang yang terekam benar-benar mengucapkan atau melakukan hal tersebut.

Publik kemungkinan masih ingat beredarnya potongan video Presiden RI Joko Widodo berpidato menggunakan bahasa Mandarin. Ini merupakan contoh video hoaks dengan teknologi AI atau deepfake yang sempat membuat geger publik menjelang akhir tahun 2023 karena Jokowi terlihat fasih berbicara bahasa Mandarin dalam pidato kenegaraannya.

Pratama mengibaratkan Gen AI pisau bermata dua. Di satu sisi, Gen AI juga dapat untuk melakukan serangan siber seperti menghasilkan serangan yang lebih canggih dan sulit dideteksi, menciptakan kesenjangan keamanan yang lebih besar antara penyerang dan pembela.

Selain itu, teknologi kecerdasan buatan ini untuk menghasilkan konten palsu, seperti deepfake. Salah satu tipe dari AI ini dapat digunakan dalam kampanye disinformasi atau serangan siber, bahkan untuk mencoba memecahkan enkripsi yang lebih kuat.

Ketergantungan pada teknologi juga menjadi salah satu implikasi negatif karena Gen AI dapat mempermudah pekerjaan sehari-hari sehingga manusia sudah tidak terbiasa melakukan hal rutin.

Keabsahan informasi yang dihasilkan pun masih perlu dipertanyakan karena jika data yang diberikan untuk melatih sistem tidak benar, kata Pratama, Gen AI akan memberikan hasil yang tidak tepat.

Akibat yang ditimbulkan dari audio atau video palsu tersebut, antara lain, menyesatkan pemilih dan menyebabkan persepsi yang salah tentang calon atau isu tertentu dengan tujuan memengaruhi hasil pemilu, mencemarkan citra kandidat, serta dapat menimbulkan ketidakpercayaan pada pemilih dan merusak reputasi mereka.

Selain itu, memengaruhi pandangan dan opini pemilih tentang calon atau isu tertentu, bahkan dapat pula memengaruhi hasil pemilu dengan menyesatkan pemilih dan memengaruhi pola pikir mereka.

Khusus untuk pemilih agar tidak terpengaruh deepfake, jangan sampai bertaklid buta dengan lebih mengenal calon anggota legislatif lebih dekat di masing-masing daerah pemilihan (dapil). Begitu pula ketika akan memilih pasangan calon pada Pilpres 2024, perlu mengetahui rekam jejak mereka.

Dalam hal ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI pada hari Senin, 13 November 2023, telah menetapkan tiga bakal pasangan calon presiden dan wakil presiden menjadi peserta Pilpres 2024.

Berdasarkan hasil pengundian dan penetapan nomor urut peserta Pilpres 2024 pada hari Selasa, 14 November 2023, pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar nomor urut 1, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka nomor urut 2, dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md. nomor urut 3.

Hal lainnya terkait dengan deepfake, menurut Pratama, bisa menimbulkan kekacauan dan ketidakstabilan dalam masyarakat yang dapat mengganggu proses pemilu dan memengaruhi hasilnya.

Di samping itu, memperkuat polarisasi dalam masyarakat dan menyebabkan ketegangan sosial yang meningkat dan akan dapat menyulitkan dialog politik yang konstruktif dan menghalangi upaya untuk mencapai kesepakatan.

Untuk mengantisipasi berbagai bahaya deepfake, menurut Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC ini, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) saja tidaklah cukup.

Deepfake, kata Pratama, termasuk sebagai salah satu berita bohong atau hoaks yang bisa dijerat dengan pasal-pasal yang ada pada UU ITE dan UU PDP. Akan tetapi, pelaku berita bohong via deepfake tersebut juga bisa dituntut dengan tambahan dakwaan dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait dengan penipuan serta pencemaran nama baik.

Dengan makin besarnya sanksi, setidaknya dapat memberikan efek jera kepada pihak yang bermaksud menyebarkan berita bohong dengan metode deepfake tersebut pada masa kampanye Pemilu 2024.

Apalagi, kalau masalah berita bohong tersebut juga diatur dalam UU Pemilu serta diancam sanksi yang berat sampai bisa diskualifikasi terhadap calon atau partai yang menyebarkan berita bohong tersebut.

Ancaman diskualifikasi terhadap peserta pemilu, niscaya calon anggota legislatif, partai, dan peserta pilpres akan berpikir lebih panjang sebelum membuat dan menyebarkan berita bohong menggunakan deepfake tersebut.