Kakak Korban Penembakan Pasukan Myanmar yang Meninggal: Saya Sangat Sedih, Terimakasih Doanya
Seorang pengunjuk rasa berpartisipasi dalam aksi protes di Yangon, Myanmar, Selasa (16/2/2021), terhadap kudeta militer. ANTARA FOTO/REUTERS/Stringer/WSJ/cfo

Bagikan:

JAKARTA - Pengunjuk rasa yang kepalanya tertembak peluru pasukan keamanan Myanmar, Mya Thwate Thwate Khaing dinyatakan meninggal dunia. 

Mya Thwate Thwate Khaing meninggal pada Jumat 18 Februari saat menjalani perawatan intensif di sebuah rumah sakit di Ibu Kota Naypyidaw.

Ia sempat menjalani perawatan dengan dukungan alat penunjang hidup selama 10 hari sejak ia ditembak oleh polisi, yang menindak para pengunjuk rasa damai yang menentang kudeta militer Myanmar.

Kakak laki-lakinya, Ye Htut Aung, memastikan bahwa Mya Thwate Thwate Khaing mengembuskan napas terakhir sekitar pukul 11.00 waktu setempat.

"Saya merasa sangat sedih dan tidak bisa mengatakan apa-apa. Saya berterima kasih kepada semua orang yang telah mendoakannya," kata Ye Htut Aung dilansir Reuters dari Antara.

Sebagai korban pertama dalam protes terbesar di Myanmar selama lebih dari satu dekade, kematian Mya Thwate Thwate Khaing telah memicu kemarahan di seluruh negeri dan meningkatkan gejolak atas penggulingan pemerintahan sipil pada 1 Februari lalu.

"Saya merasa sangat sedih mengenang dia. Saya makin bertekad untuk turun ke jalan," kata Nay Lin Htet (24), seorang pengunjuk rasa di kota pusat perdagangan, Yangon.

"Saya merasa bangga padanya dan saya akan turun ke jalan sampai kita mencapai tujuan kita, demi dia. Saya tidak peduli dengan keamanan saya."

Banyak anggota gerakan anti kudeta yang selama dua minggu berdemonstrasi di seluruh Myanmar adalah dari Generasi Z , sama dengan Mya Thwate Thwate Khaing. Ketika ditembak, Mya adalah seorang pekerja toko bahan makanan yang masih remaja. Saat berada dalam perawatan intensif, ia berusia 20 tahun.

Penembakan itu memicu ingatan akan penindasan berdarah terhadap pemberontakan melawan pemerintahan militer brutal selama setengah abad. Selama masa perlawanan itu, ribuan orang terbunuh dan banyak lagi yang dijebloskan ke penjara selama bertahun-tahun.

Mya Thwate Thwate Khaing merupakan salah satu korban jiwa yang dilaporkan tewas terkait dengan gerakan protes belakangan ini. Satu lainnya adalah seorang polisi, yang menurut militer meninggal karena luka-luka yang dideritanya pada Senin, 15 Februari.

Beberapa jam setelah penembakan, video dan gambar menjadi viral di media sosial saat Mya Thwate Thwate Khaing, yang mengenakan helm sepeda motor dan kaos merah, ambruk dengan punggung menghadap ke polisi, yang menyiram kerumunan dengan meriam air.

Pada hari-hari berikutnya, massa berunjuk rasa sambil memegang foto diri Mya Thwate Thwate Khaing sambil menyerukan kediktatoran diakhiri. Sehari setelah penembakan, mereka menggantung foto pertama dari beberapa potret besar perempuan tersebut dari sebuah jembatan di pusat kota Yangon, dengan spanduk bertuliskan "Mari bersama-sama melawan diktator yang membunuh rakyat".

"Menembak pengunjuk rasa yang damai dengan peluru tajam adalah hal yang tidak bisa dimaafkan dalam masyarakat kita," kata seorang dokter yang merupakan bagian dari tim yang merawat Mya Thwate Thwate Khaing.

Dokter itu mengatakan bahwa cerita Mya Thwate Thwate Khaing telah mendorong gerakan pembangkangan sipil di Myanmar, yang antara lain diikuti oleh kalangan tenaga medis.