Cari Panggung Kepala Daerah Berujung Abai Terhadap Kode Etik Perlindungan Data Pasien
Ilustrasi (Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Plt Bupati Cianjur Herman Suherman dianggap blunder saat memaparkan kondisi salah seorang warganya yang diduga terjangkit virus COVID-19. Dia secara jelas menyebut, nama, jenis kelamin, hingga tempat di mana kerja orang tersebut. Tak hanya itu, Herman juga menyampaikan kepada publik lokasi pasien tersebut dirawat. Padahal, secara kode etik kedokteran hal ini tidak boleh dilakukan.

Penegasan soal kode etik tersebut juga disampaikan oleh Sekretaris Direktorat Jenderal PDP Kementerian Kesehatan Achmad Yurianto. Dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Kesehatan, Yuri mengatakan mereka yang terjangkit data pribadinya harus dilindungi.

"Menjadi hal yang perlu kita jaga etikanya adalah bahwa di dalam penegakan diagnosa ada rahasia etik kedokteran," kata Yuri di kantornya, Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan, Selasa, 3 Maret.

Menjaga data pribadi pasien dengan cara merahasiakannya, Yuri mengatakan merupakan hal pertama yang harus diperhatikan. Sementara aturan etik kedua yang harus ditaati adalah dilarang menyampaikan lokasi dirawatnya para pasien.

"Ada rahasia medis yang tidak boleh mengekspos nama pasien. Bahkan di dunia internasional tidak pernah ekspos nama rumah sakit," tegasnya.

Juru bicara untuk penanganan virus COVID-19 ini kemudian meminta agar kepala daerah yang ingin melakukan pengumuman bisa berkoordinasi dengan pihak Kemenkes. Selain itu, untuk menginformasikan status positif dan negatif, kata dia, biarlah menjadi tugas lembaganya. Tujuannya jelas agar disinformasi tidak terjadi saat pengumuman disampaikan.

Tak hanya itu, Kemenkes juga disebut Yuri telah mengeluarkan surat edaran terkait pencegahan dan penanganan virus corona ke pemerintah daerah. Hanya saja dia mempertanyakan, kenapa kepala daerah masih gegabah dalam membuat pernyataan.

"Manualnya pun bahkan sudah kami buat. Kami bertanya pada teman di daerah, apa sudah menerima surat edaran, sudah. Apa sudah memahami, sudah. Tapi kok responsnya begini. Ya maunya yang penguasa ya begitu. Tolong pahami karakteristik daerah," ungkapnya.

Diketahui, beberapa jam setelah Presiden Joko Widodo memaparkan kasus virus COVID-19 untuk pertama kalinya di Indonesia pada Senin, 2 Maret, sejumlah kepala daerah kemudian membuat konferensi pers tersendiri.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan misalnya, langsung muncul di Balai Kota DKI Jakarta. Padahal, saat ramai soal banjir atau Formula E dia enggan berkomentar apapun. Selanjutnya, Wali Kota Depok Mohammad Idris juga mengadakan konferensi pers. Sama seperti Bupati Cianjur, Idris saat itu juga membuka data pribadi pasien terjangkit COVID-19 yang berasal dari wilayahnya.

Berselang beberapa saat kemudian dalam satu hari yang sama, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil juga langsung menetapkan siaga 1 penyebaran COVID-19 setelah ada dua warga Depok yang terjangkit.

Selain Kemenkes, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD juga sudah menegaskan agar kepala daerah tak perlu cari panggung saat menangani virus tersebut. Dia juga minta, kepala daerah tak perlu mendramatisasi dengan melaksanakan konferensi pers yang tak perlu.

"Diharapkan juga pemerintah jangan terlalu mendramatisasi persoalan terutama pemerintah-pemerintah daerah itu ada sesuatu yang belum jelas sudah konpers corona," tegas Mahfud di Kantor Kemenkopolhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.

Dia juga menyinggung pernyataan Plt Bupati Cianjur Herman Suherman, yang dengan begitu yakin mengatakan warganya terpapar virus yang berasal dari Kota Wuhan, China tersebut.

Padahal, berdasarkan data Kemenkes, pria yang dikabarkan baru pulang dari Malaysia itu meninggal bukan karena virus COVID-19. Berkaca dari hal tersebut, dia kemudian meminta pemda bisa bijak menyampaikan informasi.

Daripada cari panggung lebih baik sosialisasi

Berkaca dari banyaknya mulut kepala daerah yang berbicara, hingga secara abai menyampaikan data pribadi, pengamat kebijakan publik, Trubus Rahadiansyah menilai pernyataan para kepala daerah yang tidak terukur dengan baik justru bisa menimbulkan kepanikan di tengah masyarakat dan membuat munculnya stigma mereka sedang cari panggung politik.

Sosialisasi menghadapi virus ini, kata dia lebih penting dibanding saling berebut panggung untuk bicara hal yang sebenarnya tak mereka kuasai. Apalagi sampai memaparkan data pribadi yang bertentangan dengan kode etik.

"Sebenarnya pemerintah daerah harus melakukan sosialisasi tentang apa itu virus corona (COVID-19) bukan malah panik. Kemudian buka komunikasi dengan masyarakat jelaskan seperti apa penanganannya. Jadi masyarakat diedukasi dan dibimbing," kata Trubus saat dihubungi VOI lewat sambungan telepon, Selasa, 2 Maret.

Jika sosialisasi dirasa sudah cukup, selanjutnya pemerintah daerah bisa memikirkan bagaimana menghadapi dampak virus ini ke depan dengan melakukan koordinasi ke berbagai pihak terkait di daerah.

"Setelah diumumkan presiden harusnya mereka meredam supaya masyarakat enggak panik. Karena kepala daerahnya kelihatan panik," jelas dia sambil menambahkan jangan sampai pernyataan yang keluar dari mulut seorang kepala daerah ternyata menambah panjang daftar disinformasi terkait virus COVID-19.

"Dampak seperti panic buying dan lain-lain ini kan harusnya yang jadi perhatian pemerintah daerah. Bukan malah mereka saling berebut menyampaikan informasi," tutupnya.