Bagikan:

JAKARTA - Kuasa hukum Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengatakan, laporan dari Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan merupakan laporan yang kabur dan tidak jelas. Dalam laporan, pelapor tak menguraikan perbuatan terlapor yang termasuk sebagai pelanggaran administratif pemilu.

"Oleh karena itu, terlapor memohon kepada Majelis Pemeriksa Bawaslu untuk menolak laporan pelapor atau setidak-tidaknya menyatakan laporan a quo tidak dapat diterima," kata kuasa hukum KPU Edho Rizky Hermansyah di Kantor Bawaslu RI, Jakarta, Antara, Kamis, 23 November.

KPU RI sebagai pihak terlapor menyampaikan pernyataan tersebut dalam sidang pemeriksaan pelanggaran administratif pemilu mengenai keterwakilan perempuan kurang dari 30 persen pada pemilu anggota legislatif yang diadakan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI.

Sementara itu, pihak pelapor adalah Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan. Selain itu, Rizky meminta Majelis Pemeriksa Bawaslu untuk menolak laporan pelapor karena tidak disertakannya partai politik sebagai pihak terlapor.

Sementara itu, Titi Anggraini, dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia sekaligus pelapor, memohon kepada Majelis Pemeriksa Bawaslu untuk tidak mengindahkan tanggapan dari pihak KPU karena tidak adanya surat kuasa khusus.

Titi mengatakan bahwa pihaknya merujuk pada Peraturan Bawaslu Nomor 8 Tahun 2022.

"Dalam sidang pemeriksaan, sebagaimana dimaksud ayat (1), pelapor dan terlapor dapat diwakili oleh kuasa hukum berdasarkan surat kuasa khusus. Karena tidak ada surat kuasa khusus yang kami lihat, mohon seluruh jawaban terlapor dianggap tidak pernah ada dalam persidangan ini," kata Titi.

Sebelumnya, Bawaslu menggelar sidang pemeriksaan pelanggaran administratif pemilu dengan agenda pembacaan oleh perwakilan Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan, Selasa, (21/11).

Dalam persidangan tersebut, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Mikewati Vera Tangka mengatakan bahwa KPU telah melakukan pelanggaran administrasi setelah menetapkan daftar calon tetap (DCT) yang tidak memenuhi syarat kuota keterwakilan perempuan, yakni paling sedikit 30 persen.

Ia menilai penetapan DCT tersebut tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 245 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum juncto Pasal 8 ayat (1) huruf c Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 24/P/HUM/2023.