JAKARTA - Rencana menempatkan pedagang kaki (PKL) di trotoar sudah dilontarkan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sejak tiga bulan lalu. Tindak lanjutnya, Dinas Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) DKI merencanakan akan menempatkan PKL di 13 titik sepanjang Jalan Sudirman hingga MH Thamrin, Jakarta Pusat.
Penentuan titik ini ditentukan dari aktivitas masyarakat yang menggunakan trotoar untuk menyusuri jalan dan keluar masuk stasiun MRT.
"Di sepanjang jalan itu, tidak ada fasilitasi kebutuhan masyarakat. Berorientasi dari situ, coba kita taruh titik-titik (penempatan PKL) itu. Minimal, dia bisa mendapat minum," ucap Kepala Dinas UMKM DKI Adi Ariantara di Balai Kota, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis, 21 November.
Tapi, kajian belum berhenti sampai di situ. Dalam menentukan kriteria PKL, Pemprov DKI menggunakan Peraturan Menteri PUPR Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Pedoman Perencanaan Penyediaan dan Pemanfaatan Prasaranan dan Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan.
Dalam Pasal 13 Ayat (2) Permen PUPR menyebutkan, pemanfaatan prasarana jaringan pejalan kaki hanya diperkenankan untuk pemanfaatan fungsi sosial dan ekologis yang berupa aktivitas bersepeda, interaksi sosial, kegiatan usaha kecil formal, aktivitas pameran di ruang terbuka, jalur hijau, dan sarana pejalan kaki.
Dengan demikian, Pemprov DKI tak akan melibatkan PKL dengan dagangan yang berpotensi merusak fasilitas trotoar yang akan digunakan.
"Ke depan, yang kita kaji pengisian booth yang paling sederhana tanpa ada tenda dan kegiatan masak. Kemudian kita juga sedang kaji pengadaan finding machine," ucapnya.
"Kita juga mengkaji bagaimana potensi masyarakat di sana. Jangan kita menempatkan titik yang tidak laku. Itu bukan pembinaan namanya," tambah dia.
Kendati demikian, dari seluruh kajian dengan dasar hukum peraturan menteri tersebut, Pemprov DKI masih terjegal aturan yang lebih tinggi, yakni Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ).
Melihat isi Pasal 28 ayat (2) UU LLAJ, setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi trotoar sebagai salah satu perlengkapan jalan.
Aturan inilah yang membuat Pemprov DKI sampai saat ini masih berkutat pada kajian legalitas hukum terhadap kebijakan penempatan PKL di Trotoar.
"Makanya, saya bilang, ini terus kita kaji terhadap aspek hukumnya, aspek teknis mungkin kita sudah bisa masuk, tapi aspek hukum ini tentu jadi masih kita bahas supaya lebih matang lagi," ungkap Adi.
Terpisah, Pendiri Koalisi Pejalan Kaki Alfred Sitorus menganggap rujukan pembuatan peraturan menteri maupun kepala daerah itu berasal dari Undang-Undang. Jadi jelas, kedudukan hukum UU merupakan yang lebih tinggi.
Yang Alfred Khawatirkan, ada gugatan yang datang dari pihak lain karena merasa hak pejalan kaki terserobot oleh PKL.
"Takutnya, antara instansi kepolisian dan Pemprov DKI saling egosektoral atas peraturan yang mereka pegang dalam menindak. Malah bisa aja nanti ada yang gugat nih, kuat kuatkan mana antara permen PUPR atau UU LLAJ," ungkap Alfred saat dihubungi VOI.
Dari pegangan aturan Permen PUPR, Alfred melihat Anies mengklaim bahwa Pemprov bakal bisa mengatur secara rapi soal penetapan lokasi PKL di trotoar. Tapi faktanya, penegakan hukum atas PKL liar di trotoar juga masih loyo.
"PKL Diizinkan ataupun enggak berjualan di trotoar aja, kadang pejalan kaki susah mengakses trotoar itu. Dari kondisi itu sebenarnya apatisme masyarakat sudah cukup tinggi dengan kesulitan penertiban PKL di trotoar," ungkapnya.