CILACAP - Dihadapan para santri, eks narapidana teroris (Napiter) Ustaz Nasir Abbas bercerita dirinya sempat terjerumus aksi terorisme sejak umur 16 tahun, setelah sebelumnya belajar agama dengan salah seorang pentolan teroris.
"Saya ditawari ke Afghanistan secara gratis, namun, di sana disuruh berperang. Saya tidak dapatkan literasi tentang bahaya teroris, yang ada cuma jihad dengan perang," ucap Nasir Abbas, di Pondok Pesantren (Ponpes) Majelis Tahfidzul Qur'an As Surkati, Blotongan Sidorejo Salatiga, Kamis 9 November.
Abbas melanjutkan, bahwa saat itu dia mengaku bertaubat setelah sadar kalau terorisme adalah tindakan yang menyebabkan ketakutan dan kerusakan yang meluas serta bersikap intoleran karena tidak menerima perbedaan.
"Teroris itu bukan jihad. Mereka adalah orang-orang intoleran yang tidak menerima perbedaan, doktrin terorisme di Indonesia lebih cenderung mengeksploitasi target dan memainkan isu-isu Islam garis keras" ucap Nasir Abbas.
Menurut Abbas, anak-anak muda sebagai generasi penerus bangsa, peran pemuda dalam mencegah intoleransi, radikalisme dan terorisme sangat diperlukan.
BACA JUGA:
“Para generasi muda harus bijak dalam menggunakan media sosial. Jangan mudah terprovokasi dengan informasi yang menyesatkan," ujarnya.
Nasir Abbas mengungkapkan hal tersebut di sebuah acara yang digelar Div Humas Polri yang digelar di Pondok Pesantren (Ponpes) Majelis Tahfidzul Qur'an As Surkati, Blotongan Sidorejo Salatiga, dalam rangka mencegah berkembangnya paham radikalisme dan intoleransi.
Dalam kegiatan itu turut hadir tim dari Div Humas Polri yang dipimpin Kombes DR. Nurul Azizah, didampingi Kapolres Salatiga AKBP Aryuni Novitasari.
Sementara itu Pimpinan Majelis Tahfidzul Qur'an As Surkati Ustad Diding Fatuding mengatakan, dengan memberikan pengetahuan yang didapat langsung dari salah seorang napiter terkait bahaya paham radikalisme yang tidak sesuai dengan Pancasila dan ajaran agama, dapat merusak sendi-sendi demokrasi bangsa Indonesia.