JAKARTA - Pengamat hukum tata negara dari Universitas Muslim Indonesia, Fahri Bachmid menilai putusan perkara dugaan pelanggaran etik hakim yang ditangani Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) tak bisa membatalkan hasil putusan MK.
Hal ini menanggapi penanganan perkara MKMK atas putusan MKMK nomor 90/PUU-XXI/2023 yang membolehkan kepala daerah belum berusia 40 tahun untuk maju sebagai capres-cawapres.
Menurut dia, lembaga etik seperti MKMK tak miliki argumentasi yang memadai untuk membatalkan produk putusan MK.
“Pada hakikatnya MK dengan putusannya adalah organ konstitusional yang sangat limitatif terkait dengan kewenagan atributifnya, termasuk sifat putusannya yang bercorak 'ergo omnes' maupun 'final and binding',” kata Fahri pada Minggu, 5 November.
Menurut dia, konstruksi pelembagaan forum etik MK mendelegasikan agar MK wajib menyusun Kode etik dan pedoman perilaku Hakim Konstitusi yang berisi norma yang harus dipatuhi oleh setiap hakim dalam menjalankan tugasnya.
Dengan demikian, Fahri menyebut konsekuensi hukum produk putusan MKMK hanya sebatas pemberian sanksi, baik ringan maupun berat, serta sulit untuk menganulir putusan MK.
“Saya belum menemukan suatu argumentasi konstitusional dan hukum yang kokoh terkait dengan ekstensifikasi produk putusan lembaga etik yang dapat membatalkan produk putusan MK," ucap dia.
Sebelumnya, Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie mengatakan seluruh bukti terkait dengan kasus dugaan pelanggaran kode etik oleh MK telah lengkap, termasuk keterangan saksi dan ahli.
Jimly menyebut, putusan MKMK terkait dugaan pelanggaran kode etik sembilan hakim MK akan berdampak pada ketentuan pendaftaran bakal pasangan calon presiden dan wakil presiden.
"Nanti tolong dilihat di putusan yang akan kami (MKMK) baca, termasuk jawaban atas tuntutan supaya putusan itu (putusan MKMK) ada pengaruhnya terhadap putusan MK sehingga berpengaruh pada pendaftaran bakal pasangan calon presiden/wakil presiden," kata Jimly, Jumat, 3 November.
MKMK menjadwalkan penyampaian putusan pada tanggal 7 November, atau sebelum penetapan peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2024 pada tanggal 13 November 2023.
Menurut Jimly, pengawalan kasus ini harus dilakukan mulai dari sistem etika politik hingga etika bernegara.
BACA JUGA:
"Indonesia negara hukum terbesar keempat di dunia, tetapi indeks kualitas hukum negara kita nomor 64, masih jauh kualitasnya," ujar Jimly.
Jimly meminta masyarakat bersabar menunggu putusan MKMK terkait dengan dugaan pelanggaran kode etik oleh sembilan hakim MK.