Bagikan:

JAKARTA – Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) diminta tidak mengeluarkan putusan yang bersifat normatif terkait dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi.

Ahli Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Anang Zubaidy menilai, MKMK harus mempertimbangkan aspek kemanfaatan dan keadilan. Karena itu, mereka harus membuat putusan yang out of the box atau tidak normatif.

Menurutnya, jika dasar pengambilan putusan hanya normatif, maka putusan MK yang bersifat final dan mengikat sehingga menutup upaya hukum lain dan tidak lagi dipandang sebagai mekanisme untuk membatalkan putusan.

“Untuk bisa mengembalikan kepercayaan publik, MKMK harus membuat putusan yang out of the box, di luar pertimbangan normatif, lebih pada pertimbangan kemanfaatan dan keadilan,” tutur Anang, Sabtu 4 November.

“Kalau berpikirnya normatif ya selesai. Kita tidak ada upaya hukum apa pun. Saya berpikirnya di luar itu, bahwa hukum itu harus memberikan jalan keluar,” sambungnya.

Dia menjelaskan, MKMK menjalankan peran sebagai hakim yang memiliki fungsi dan tugas utama untuk menyelesaikan perselisihan atau konflik. Karena itu, MKMK seharusnya tidak menggunakan kacamata normatif semata.

Dia berharap, MKMK menggunakan sisi nuraninya untuk menganalisis dan mengusut perkara dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi. “MKMK perlu membaca kasus yang ditangani dari kacamata keadilan dan kemanfaatan,” ujar Anang.