JAKARTA - Meninggalnya 10 siswa/i SMPN 1 Turi yang terseret arus Sungai Sempor saat mengikuti kegiatan pramuka berbuntut panjang. Ketiga orang guru yang juga merupakan pembina pramuka siswa/i itu pun kini mendekam dalam penjara.
Hanya saja, perlakukan terhadap para tersangka ini justru mendapat kritikan keras. Pasalnya ketiga guru itu malah digunduli bak pelaku kriminal.
BACA JUGA:
"Kami mengkritik perlakuan polisi terhadap guru. Seolah-olah mereka ini pencuri ayam yang harus digunduli dan sebagainya. Yang korupsi triliunan aja nggak dicukur kan. Kasihan ini guru belum-belum digunduli," tulis akun Pengurus Besar PGRI lewat akun Twitternya.
Penggundulan terhadap Isfan Yoppy Andrian (36), Riyanto (58), Danang Dewo Subroto (58), kurang elok karena mereka bukan penjahat yang terlibat aksi pencurian atau sebagainya. Meski, mereka tetap bersalah atas kelalaian sehingga berdampak tewasnya 10 siswa saat kegiatan susur sungai.
Menanggapi kecaman atas penggundulan ketiga tersangka, Kabid Humas Polda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Kombes Yuliyanto mengatakan, pihaknya akan mendalami apakah ada penyalahgunaan wewenang oleh para penyidik.
Kegiatan bersifat outdoor di tengah cuaca seperti ini tdk dpt dibenarkan. Kesalahan apalagi kehilangan nyawa anak2 tercinta wajib diproses. Semua sama di depan hukum.Mmperlakukan guru dibotakin, digiring di jalanan sdh kah sesuai SOP? Yuk sama2 teduh hati.
— PENGURUS BESAR PGRI AKUN RESMI (@PBPGRI_OFFICIAL) February 25, 2020
Nantinya, Porpam akan memeriksa penyidik yang menangani perkara tersebut. Hanya saja dari pengakuan ketiga tersangka aksi cukur habis rambut itu memang didasari keinginan mereka sebagai bentuk penyesalan.
"Sementara memang seperti itu (kemauan para tersangka) tapi kita akan dalami segala kemungkinannya," ungkap Yuliyanto.
Meski atas dasar keinginan sendiri, anggota Komisi III DPR RI Muhammad Syafi'i merasa aksi penggundulan ketiga guru itu tidaklah pantas. Bahkan dalam hukum pidana sekalipun tidak mengatur hal semacam itu.
"Tidak ada. Bahwa dalam KUHP semua perbuatan yang melanggar hukum kan semua ada aturannya, diproses, kemudian nanti di pengadilan, vonis gitu. Tapi untuk menggunduli orang, buka baju orang diarak keliling kampung itu tidak ada. Aturan apapun tidak ada, menggunduli tersangka," papar Syafi'i.
Jika merujuk dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia nomor 6 tahun 2013 tentang tata tertib Lembaga Permasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara, dalam Pasal 3 huruf e tertulis setiap narapidana atau tahanan wajib memelihara kerapihan dan berpakaian sesuai dengan norma kesopanan.
Namun, dalam peraturan itu tak dijabarkan secara merinci soal batasan-batasan kerapian bagi narapidana atau tahanan. Misalnya, terkait batas maksimal panjang rambut atau sebagainya. Sehingga, bisa dikatakan belum ada aturan baku mengenai penggundulan para tersangka.
Kriminolog Universita Indonesia Ferdinand Andi Lolo ikut berkomentar perihal aturan tersebut. Menurutnya, setiap instansi penegak hukum memiliki aturan-aturan tersendiri dalam penanganan pelaku kejahatan. Aturan tersebut merupakan hal-hal yang boleh dan tidak dilakukan berdasarkan keputusan bersama.
"Masing-masing institusi seperti Polri, Kejaksaan, KPK, dan Rutan, punya SOP sendiri. Jadi tidak diatur dalam KUHAP, tapi ada aturan internal," kata Ferdinand.
Perbedaan aturan juga bisa terjadi walapun di instansi yang sama. Dicontohkan, peraturan penanganan tahanan di tingkat kepolisian resor (polres) akan berbeda dengan kepolisian sektor (polsek). Alasannya, ada beberapa tindakan yang dilakukan dengen berdasarkan diskresi untuk mementingkan faktor kesehatan dan keamanan.
Sehingga, dengan adanya perbedaan aturan disetiap instansi, tak selalu akan berdampak munculnya masalah baru. Tapi lebih kepada melihat faktor lain yang harus diutamakan.
"Ada tindakan yang dilakukan terhadap tahanan berdasarkan diskresi untuk keperluan kesehatan, atau keamanan misalnya. Jadi tidak selalu harus menimbulkan masalah," kata Ferdinand.