JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengklaim penjemputan paksa eks Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo karena dia tak muncul pada hari ini, Kamis, 12 Oktober.
Padahal, politikus Partai NasDem sudah menyatakan akan berkomitmen memenuhi panggilan.
“Saya pikir sesuai dengan komitmennya yang kemarin kami sampaikan bahwa dia akan kooperatif semestinya datang hari ini ke KPK untuk menemui tim penyidik KPK,” kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis malam.
Meski begitu, Ali membenarkan adanya surat panggilan terhadap Syahrul pada Jumat, 13 Oktober.
“Tapi ini masih dalam rangkaian yang kemarin (dia tidak hadir, red),” tegasnya.
Sehingga, KPK memutuskan melakukan analisa setelah ada kabar Syahrul tiba di Jakarta. Dari sanalah, diputuskan dilakukan penjemputan paksa terhadap politikus Partai NasDem itu.
“Sekali lagi ada alasan hukum bagaimana analisis dari tim penyidik KPK dilakukan untuk berikutnya penangkapan terhadap tersangka dimaksud,” ujar Ali.
Diberitakan sebelumnya, Syahrul dijemput paksa di kawasan Kebayoran, Jakarta Selatan pada Kamis malam. Ia langsung menjalani peneriksaan di Gedung Merah Putih KPK.
Sebelumnya, pengacara Syahrul Yasin Limpo, Febri Diansyah mempertanyakan dasar penjemputan paksa kliennya. Katanya, Syahrul sebenarnya sudah menerima surat panggilan untuk diperiksa pada Jumat besok, 13 Oktober.
“Pak Syahrul justru sudah menerima surat panggilan tadi untuk jadwal pemeriksaan besok Jumat. Ia bilang akan koperatif dan mengkonfirmasi akan datang di pemeriksaan besok,” kata Febri dalam keterangan tertulisnya yang diterima VOI, Kamis, 12 Oktober.
VOI mendapat surat panggilan yang dimaksud. Di dalamnya, Syahrul sebagai tersangka dugaan korupsi di Kementan itu dijadwalkan diperiksa besok dan ditandatangani oleh Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur.
KPK sudah mengumumkan Syahrul beserta dua anak buahnya, Sekjen Kementan Kasdi Subagyono dan Direktur Alat Pertanian Kementan Muhammad Hatta sebagai tersangka pada Rabu, 11 Oktober. Ketiganya terlibat dugaan pemerasan dan gratifikasi.
Dalam kasus ini, Syahrul melalui dua anak buahnya tersebut diduga memeras pegawainya dengan mewajibkan membayar uang setoran setiap bulan. Nominalnya beragam antara 4.000-10.000 dolar Amerika Serikat.
BACA JUGA:
Uang yang dikumpulkan diyakini bukan hanya berasal realisasi anggaran Kementan digelembungkan atau mark-up melainkan dari vendor yang mengerjakan proyek. Pemberian uang dilakukan secara tunai, transfer maupun barang.