LaNyalla Mattalitti Terima 10 Manifesto Politik dari FTA, Ini Isinya
LaNyalla Mattalitti menerima Forum Tanah Air yang menyamoaikan 10 Manifesto Politik. (IST)

Bagikan:

JAKARTA - Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menerima Forum Tanah Air (FTA) di Ruang Delegasi DPD RI, Gedung Nusantara III, Komplek Parlemen Jakarta, Selasa 29 Agustus. Dalam kesempatan itu FTA menyerahkan 10 solusi dan tuntutan perubahan politik dan ekonomi dalam Manifesto Politik.

Hadir Ketua FTA Indonesia, Donny Handricahyono, Liaison Officer FTA untuk DKI Jakarta, Asrianti Purwantini serta para anggota delegasi FTA antara lain Ahmad Fauzi dan Alfa Camrilla (Perwakilan FTA DKI Jakarta), Rusdi Ikhsan Aminy dan Nurjana Nasaru (FTA Sulawesi Utara) dan Muhammad Syafrudin P (FTA dari Kalimantan Barat).

Ketua DPD RI didampingi Staf Khusus Ketua DPD RI Sefdin Syaifudin, Togar M Nero dan Brigjen Pol Amostian, ekonom Ichsanuddin Noorsy dan pegiat Konstitusi dr Zulkifli S Ekomei.

Rumusan Pendiri Bangsa

LaNyalla Mahmud Mattalitti menyampaikan bahwa ada beberapa bagian dari Manifesto Politik yang sama atau beririsan dengan upaya DPD RI mengembalikan sistem bernegara sesuai rumusan para pendiri bangsa yang kemudian disempurnakan melalui amandemen dengan teknik adendum.

"Misalnya pada proposal kenegaraan dari DPD RI pada nomor dua. Yakni membuka peluang adanya anggota DPR RI dari peserta pemilu unsur perseorangan, selain dari anggota partai politik. Hal ini sebagai upaya untuk memastikan bahwa proses pembentukan Undang-Undang yang dilakukan DPR bersama Presiden, tidak didominasi oleh keterwakilan kelompok partai politik saja. Tetapi juga secara utuh dibahas oleh keterwakilan masyarakat non partai," tuturnya.

Tidak mungkin, lanjutnya, pembuatan UU yang mengikat 270 juta rakyat hanya ditentukan oleh 9 ketua umum partai yang ada seperti sekarang.

"Sebagaimana kita ketahui, menurut UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, di Pasal 1 Ayat (1) jelas menyebut frasa kata ‘kelompok’, dengan tujuan memperjuangkan kepentingan anggota. Artinya hakikat dari partai politik dalam tata negara layak disebut sebagai Political Group Representative. Sehingga tidak bisa disebut sebagai Wakil Rakyat murni. Lebih tepatnya Wakil Partai," ujar dia.

Anggota FTA berfoto bersama dengan LaNyalla Mattalitti. (IST)
Anggota FTA berfoto bersama dengan LaNyalla Mattalitti. (IST)

Sementara terkait usulan FTA tentang public recalling terhadap anggota DPR, Staf Khusus Ketua DPD RI Sefdin Syaifudin menjelaskan bahwa hal itu sulit diterapkan di Indonesia.

"Di Amerika bisa diterapkan tapi di Indonesia akan sulit, karena Indonesia tidak seperti AS, dimana kaum berpendidikan di Indonesia lebih sedikit. Belum lagi sistem tersebut bisa saja di-engineering oleh aktor politik lain untuk me-recall anggota lainnya melalui sentimen publik," kata dia.

Sementara itu Donny Handricahyono mengatakan Forum Tanah Air merupakan wadah para aktivis yang peduli dan cinta terhadap tanah air, baik itu yang berada di luar negeri maupun yang ada di dalam negeri.

"Kami tidak berorientasi kepada seorang figur politisi atau pejabat, juga tidak berorientasi kepada parpol, tidak menjadi bagian dari parpol, bukan relawan dan juga bukan kader partai. FTA selalu fokus pada isu penting yang membelenggu kehidupan rakyat untuk dicarikan solusi," tegas Donny.

Adapun Manifesto Politik dari Forum Tanah Air (FTA) adalah:

1. Menuntut hak dan wewenang kedaulatan tertinggi rakyat untuk memilih dan mengganti anggota Parlemen (DPR/DPD/DPRD) di tengah jalan lewat mekanisme pergantian anggota DPR (recall election), dengan menghilangkan hak pergantian antar waktu (P.A.W) yang dimiliki oleh partai politik dengan merevisi UU MD3.

2. Menuntut agar semua anggota Parlemen (DPR/DPD/DPRD) dipisahkan dari ikatan partai politik dengan mengubah UU partai politik yang lebih demokratis dengan membatasi kekuasaan partai politik,

dimana kekuasaan partai politik dalam sistem pemerintahan demokrasi tidak boleh memiliki kekuasaan dan daulat yang lebih tinggi dan lebih besar dari kedaulatan tertinggi rakyat.

3. Menuntut anggota Parlemen (DPR/DPD) dan pemerintah pusat agar KPU dibuat benar-benar

netral, mandiri, terbuka, jujur, adil dan demokratis dalam menjalankan tanggung-jawab dan tugasnya sebagai penyelenggara pemilu, lepas dari segala pengaruh dan campur tangan siapapun dengan

mengubah komposisi keanggotaan komisioner KPU dari 7 orang yang telah dipilih oleh DPR lewat

seleksi, ditambah dengan 36 orang wakil dari 18 partai politik yg lolos dalam pemilu 2024, sehingga

menjadi total 43 orang anggota komisioner KPU.

4. Menuntut agar persyaratan presidential threshold 20% dalam pasal 222, UU Pemilu No.7 tahun

2017 untuk bisa menjadi seorang CAPRES dihilangkan dengan merevisi UU Pemilu No.7 tahun 2017.

5. Menuntut pemisahan POLRI dari lembaga Eksekutif (Presiden), Legislatif dan Yudikatif dan menuntut agar Presiden tidak ikut campur, atau intervensi terhadap proses seleksi, pemilihan dan pengangkatan anggota komisi dan anggota lembaga negara independen lainya, seperti anggota MK, KY, KPK, KPU, BAWASLU, KOMNAS HAM, dsb.

6. Menuntut anggota MPR untuk segera mengoreksi kiblat bangsa yang telah keluar dari tujuan dan cita-cita pendiri NKRI dengan membuat amandemen ke-5 untuk memisahkan teks asli UUD 1945 dengan teks amandemen 4x kali (UUD 2002).

7. Menuntut pemerintah pusat, khususnya Presiden, DPR/DPD dan Menteri agar menjadikan NKRI

sebagai negara yang mandiri secara keuangan, ekonomi, politik, teknologi dan pertahanan militer,

lepas dari ketergantungan utang luar negeri dan utang dalam negeri yang begitu besar kepada negara

asing, kreditor internasional dan lembaga keuangan internasional.

8. Mengubah sistem tanggung-jawab fiskal keuangan (APBN/APBD) yang harus berorientasi pada surplus (SURPLUS-ORIENTED), dan bukan berorientasi pada pengeluaran sebesar-besarnya (SPENDING-ORIENTED).

8. Menuntut pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk menyediakan dana alokasi khusus, sesuai dengan mandat Konstitusi pada pasal 34, UUD 1945 lewat APBN dan APBD untuk memberikan jaminan sosial dan kesejahteraan sosial bagi rakyat miskin melalui SUBSIDI (jaring pengaman sosial) berupa bantuan langsung tunai (BLT), khususnya kepada fakir miskin, anak-anak terlantar, orang cacat

mental dan fisik (disabilitas) dan orang tua diatas 65 tahun (lansia) yang hidup sendiri dan hidup di bawah standar garis kemiskinan, dengan biaya hidup sebesar Rp.31.000 per hari.

9. Menuntut desentralisasi otonomi daerah yang lebih besar, seperti pada UU otonomi daerah No.22,

tahun 1999 dengan memberikan pembagian keuntungan, jumlah persentase royalti, pembagian dana

alokasi khusus hasil export SDA daerah, pemberian dana alokasi perimbangan keuangan maupun pemberian dana bagi hasil (DBH) sumber daya alam daerah yang lebih adil, lebih fair dan lebih proporsional kepada rakyat daerah, serta memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengelola sendiri SDA daerah yang dimilikinya.

10. Menuntut pemerintah pusat khususnya Presiden, DPR/DPD, Menteri dan pemerintah daerah (PEMDA) untuk membuat kebijakan ekonomi yang baik dan benar, sesuai dengan tugas dan tanggung-jawab dalam Konstitusi UUD 1945, pasal 33 UUD 1945.