Bagikan:

JAKARTA - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva menilai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2022 tentang Pengurusan Piutang Negara oleh Panitia Urusan Piutang Negara cacat hukum.

Menurutnya, PP itu saling tumpang tindih dan inkonsisten dengan peraturan hukum lainnya.

“Ada banyak masalah di PP ini yang harus diperbaiki. Ada banyak norma-norma yang bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan lainnya. Belum lagi ada penegakan hak asasi manusia (HAM) yang dilanggar sehingga jelas PP Nomo2 28/2022 menimbukan disharmonisasi dan saling tumpang tindih,” kata Hamdan dalam keterangan tertulis, Selasa 22 Agustus.

Hamdan menyampaikannya saat Focus Group Discussion (FGD) yang digelar Federasi Advokat Republik Indonesia (Ferari) bertajuk 'Disharmonisasi dan Overlapping Sebuah Peraturan Pemerintah' di bilangan Jakarta, Senin, 21 Agustus.

Pakar hukum tata negara Margarito Kamis dan eks Hakim MK periode 2003-2008 Maruarar Siahaan yang hadir dalam FGD yang dimoderatori pengamat politik Ari Junaedi itu juga sepakat dengan Hamdan dengan mengkiritisi PP Nomor 28/2022. Mereka menyorot empat permasalahan dalam PP Nomor 28/2022, yaitu:

1. PP Nomor 28/2022 bertentangan dan melampaui pengaturan yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitya Urusan Piutang Negara.

Sebagai peraturan delegasi harusnya PP tidak boleh mengatur melampaui UU yang mendelegasikannya, karena sesungguhnya PP itu merupakan aturan pelaksana dari UU. Hal ini jelas telah melanggar Pasal 5 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan "Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya," ujarnya.

2. PP Nomor 28/2022 juga dinilai melanggar asas dan prinsip dasar hukum keperdataan sebagaimana tertuang pula dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer).

Sebagaimana diketahui PP Nomor 28/2022 memuat aturan yang memperluas subyek yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas Piutang Negara, tidak hanya Penanggung Utang dan/atau Penjamin Utang tetapi juga “Pihak yang Memperoleh Hak” termasuk keluarga dalam hubungan darah ke atas, ke bawah, atau ke samping sampai derajat kedua, dan suami/istri.

Hal ini jelas bertentangan dengan KUH Perdata khususnya Pasal 1338, 1315 dan 1340 yang pada pokoknya mengatur suatu perikatan/perjanjian hanya sah berlaku bagi pihak-pihak yang membuat atau menandatanganinya. Oleh karena itu, suatu perikatan/perjanjian tidak dapat memberi keuntungan maupun berdampak kerugian kepada pihak ketiga yang tidak ikut dalam membuat perikatan/perjanjian tersebut.

Selain itu, dalam hukum perdata, tidak dikenal adanya pertanggungjawaban utang sampai keluarga derajat kedua. Dalam hukum perdata utang hanya dapat diwariskan, akan tetapi PP Nomor 28/2022 telah mengabaikan hukum waris karena pewaris belum meninggalpun utang bisa ditagihkan ke ahli warisnya.

3. PP Nomor 28/2022 memuat aturan tentang Paksa Badan, Tindakan Keperdataan (berupa pemblokiran rekening, deposito dll, tidak bolemh menerima kredit atau pembiayaan lainnya, tidak boleh menjadi pengurus di perusahaan dll) dan Tindakan Layanan Publik (berupa pencekalan, pencabutan Paspor, tidak bisa mendapatkan layanan administasi pemerintahan seperti pengurusan KTP, SIM, izin usaha, perpajakan dll). Aturan ini lebih berat dari sanksi pidana sekalipun. Oleh karenanya jelas melanggar Hak Asasi Manusia yang dijamin UUD NRI 1945. Selain itu, sesuai Pasal 28J UUD NRI 1945 jo. Pasal 70 dan 73 UU No. 39/1999 tentang HAM Pembatasan hak sebagaimana dimaksud hanya dapat ditetapkan dengan produk hukum Undang-Undang

4. Pasal 77 PP Nomor 28/2022 juga mengatur soal impunitas yang mengatur keputusan pejabat administrasi negara dalam pengurusan Piutang Negara tidak dapat dituntut secara hukum atau diajukan upaya hukum. Hal ini selain telah melanggar UU HAM jelas merusak prinsip negara hukum dan merusak penegakan hukum di Indonesia. Pasal ini jelas berdampak langsung pula bagi Advokat sebagai salah satu dari Penegak Hukum.

"Pasal 77 soal Upaya Hukum oleh penanggung hutang, penjamin hutang, pihak yang memperoleh Hak atau pihak ketiga lainnya tidak dapat diajukan terhadap sahnya atau kebenaran Piutang Negara, baik di pengadilan maupun di luar sangat melanggar Pasal 17 UU HAM soal Hak Memperoleh Keadilan," tutur Margarito.

Margarito pun mendorong agar Ferari dan pegiat HAM lainnya segera mengajukan Judicial Review (JR) karena PP tersebut sangat bertentangan dengan peraturan hukum lainnya di atasnya.

"Melakukan Judicial Review ke Mahkamah Agung adalah langkah yang sangat baik untuk menguji PP ini. Kedua, saya mengimbau kepada pemerintah yang menjalankan PP ini untuk secara bijak menyelesaikan kasus BLBI tersebut,” tandasnya.