MALUKU - Marlin Mayaut dituntut hukuman penjara 7,5 tahun dan Muid Tulapessy kurungan 6,5 tahun. Keduanya merupakan terdakwa dugaan korupsi sisa Dana Siap Pakai(DSP) Satlak Penanggulangan Bencana Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) tahun anggaran 2019.
Tuntutan itu dibacakan jaksa penuntut umum (JPU) dalam persidangan yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Tipikor Rahmat Selang di Pengadilan Negeri (PN) Ambon, Senin 21 Agustus.
"Meminta majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini menyatakan kedua terdakwa bersalah melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 ayat 1, 2 dan 3 UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP," kata JPU.
JPU juga menuntut terdakwa Marlin membayar denda Rp300 juta subsider enam bulan kurungan. Sedangkan terdakwa Muid Tulapesy juga dituntut membayar denda Rp100 juta subsider tiga bulan kurungan.
Selain itu, terhadap kedua terdakwa JPU menuntut untuk membayar denda Rp1 miliar sesuai nilai kerugian keuangan negara yang timbul dalam perkara ini, dimana terdakwa Marlin harus membayar denda Rp600 juta dan terdakwa Muid Rp400 juta subsider tiga bulan kurungan.
JPU juga menyebutkan ada lima saksi dalam perkara ini yang telah mengembalikan uang sebesar Rp82 juta, yaitu saksi Azis Sillouw, Rafli Al Ydrus, Muhamad Yusuf Hatala, Alnie Putirulan dan saksi Thomas Wattimena.
BACA JUGA:
Adapun dua terdakwa dalam perkara ini Marlin Mayaut merupakan mantan Kepala Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi pada Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) juga selaku pejabat pejabat pembuat komitmen (PPK) dana siap pakai untuk penanggulangan darurat bencana gempa bumi di wilayah SBB tahun 2019.
Sementara terdakwa Muid Tulapessy adalah Bendahara Pembantu.
JPU mengatakan, pada tanggal 26 September 2019 terjadi gempa bumi di wilayah Kabupaten SBB magnitudo 6,8 yang berakibat banyaknya kerusakan rumah atau bangunan penduduk sehingga Bupati menetapkan status tanggap darurat bencana gempa bumi.
Untuk menangani permasalahan pendanaan penanggulangan bencana gempa bumi, Bupati SBB menerbitkan Surat Nomor: 465.2/842 perihal Surat Permohonan Dana Tanggap Darurat Bencana Alam Gempa Bumi di Kabupaten SBB kepada Kepala BNPB RI.
Selanjutnya Kepala BNPB RI mengalokasikan sejumlah Dana Siap Pakai yang bersumber dari APBN Tahun Anggaran 2019.
Bahwa pada tanggal 30 September 2019, BNPB RI menerbitkan SK Nomor: 163.3 Tahun 2019 tentang Pejabat Pembuat Komitmen dan Bendahara Pengeluaran Pembantu Penanganan Darurat Bencana dengan menetapkan Nasir Suruali selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan La Ucu selaku Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) pada BPBD SBB.
Dalam perjalanannya, dilakukan pergantian PPK dan bendahara pengeluaran pembantu kegiatan bantuan DSP siaga darurat bencana melalui SK Bupati Nomor:990-32.a Tahun 2021 tanggal 26 Januari 2021 yang menetapkan Marlin Mayaut (BAP terpisah) selaku PPK dan Muid Tulapessy selaku bendahara pengeluaran pembantu.
Selanjutnya BNPB RI mengalokasikan bantuan DSP sejumlah Rp37,31 miliar untuk membiayai empat komponen kegiatan dan anggarannya ada dalam rekening khusus BPBD Kabupaten SBB yang mana terdapat sisa DSP sejumlah Rp4,35 miliar yang berasal dari dana stimulan pembangunan rumah rusak.
Padahal dana tersebut seharusnya masih berada pada rekening khusus BPBD Kabupaten Seram Bagian Barat.
Kemudian Pemkab SBB menerbitkan Surat Nomor: 360/1119 tanggal 6 Agustus 2021 tentang Usulan Pemanfaatan Sisa Dana Siap Pakai untuk Biaya Operasional sejumlah Rp2.258 miliar, namun SK ini tanpa disertai persetujuan permintaan usulan penggunaan sisa DSP dari BNPB RI.
Pada Oktober 2021, Marlin Mayaut bersama-sama terdakwa Muid Tulapessy dan Azis Sillouw melakukan pencairan sisa Dana Siap Pakai sejumlah Rp1 miliar.
Dari hasil pencairan sisa DSP sejumlah Rp1 miliar tersebut, dilakukan pembagian untuk keduanya dimana terdakwa Marlin mendapatkan Rp600 juta dan Muid Rp400 juta.
Selanjutnya BNPB RI membalas surat usulan pemanfaatan sisa DSP untuk biaya operasional melalui surat Nomor: S.1401/BNPB RI/SU/RR.01/11/2021 tanggal 16 November 2021, intinya menolak permintaan pemanfaatan sisa DSP untuk biaya operasional karena tidak sesuai ketentuan perundang-undangan.
Surat penolakan dari BNPB RI terbit pada tanggal 16 November 2021 yang saat itu sudah terlanjur dilakukan pencairan dan sudah dihabiskan, sehingga tidak bisa mengembalikan sisa DSP tersebut ke kas negara.