Bagikan:

JAKARTA - Anggota Komisi III DPR RI Didik Mukrianto mendorong dilakukannya eksaminasi terhadap putusan Pengadilan Negeri (PN) Palangka Raya, Kalimantan Tengah, yang memvonis oknum perwira polisi pelaku kekerasan seksual kepada anak hanya dengan hukuman dua bulan penjara. Putusan dinilai telah mencederai rasa keadilan. 

Didik Mukrianto memahami kekecewaan masyarakat akibat putusan PN Palangka Raya di tengah kegelisahan publik terhadap banyaknya kejahatan seksual yang terjadi.

Apalagi, kata Didik, pelaku merupakan anggota polisi aktif yang seharusnya mengayomi masyarakat.

“Wajar putusan ini dianggap mencederai rasa keadilan publik, mengingat pelaku kekerasan adalah oknum penegak hukum dan korbannya anak di bawah umur yang di dalam UU TPKS menjadi pemberat hukuman bagi pelaku kekerasan seksual,” ujar Didik dalam keterangannya, Jumat, 18 Agustus.

Seperti diketahui, majelis hakim PN Palangka Raya memutuskan Mahmud bin Hadi Mulyanto bersalah melakukan kekerasan seksual terhadap 2 anak di bawah umur berinisial M dan D. Meski dinyatakan bersalah, oknum polisi berpangkat AKP itu hanya dijatuhi hukum dua bulan penjara dan denda Rp 5 juta.

Didik menjelaskan, dalam Pasal 15 Ayat (1) UU No 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) disebutkan adanya tambahan hukuman bagi pelaku kekerasan seksual dari beberapa profesi tertentu. Bahkan hukumannya bisa ditambah 1/3 dari ancaman pidana.

“Kekerasan seksual merupakan pelanggaran hak asasi manusia, kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, serta bentuk diskriminasi yang harus dihapuskan,” tegas Didik. 

Didik menyatakan, kekerasan seksual sangat mempengaruhi kehidupan dan masa depan korban akibat trauma. Karena itu, dia menilai agar setiap pelaku kekerasan seksual mendapat hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. 

“Kita tidak ingin masyarakat hilang kepercayaannya akan terwujudnya keadilan melalui putusan hakim. Jika masyarakat selama ini beranggapan bahwa hakim adalah wakil Tuhan di Dunia, bagaimana dengan anggapan masyarakat jika ada putusan hakim yang dirasakan tidak adil dan mencederai rasa keadilan publik? Lantas mewakili siapa keberadaan hakim di dunia?," kata Didik.

Oleh karena itu, politikus Demokrat ini mengusulkan agar dilakukan eksaminasi terhadap putusan hakim dalam kasus kekerasan seksual di Palangka Raya ini.

“Tidak ada salahnya melakukan eksaminasi putusan atas permintaan publik. Selain bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pertimbangan hukum dari hakim yang memutus perkara tersebut telah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum dan prosedur hukum acaranya, juga untuk mengetahui apakah putusan tersebut telah menyentuh rasa keadilan masyarakat,” terang Didik.

Didik khawatir martabat dan integritas lembaga peradilan akan tercoreng jika kegelisahan publik atas putusan tersebut tidak ditindaklanjuti lebih lanjut. Apalagi menurutnya, martabat dan integritas lembaga peradilan sejatinya bersumber pada integritas dan kualitas para hakimnya.

“Parameter yang terukur untuk menilai kualitas dan kompetensi hakim salah satunya adalah melalui putusannya. Dengan demikian harapannya pengawasan dan pembinaan para hakim juga bisa lebih terukur dan obyektif,” pungkas Legislator dari Dapil Jawa Timur IX itu.