NTT - Sebanyak 185 pekerja asal Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang direkrut secara tidak prosedural untuk bekerja di luar negeri dalam enam bulan terakhir.
"Jumlah warga NTT yang menjadi korban TPPO dalam semester I pada 2023 sudah mencapai 185 orang terdiri perempuan 39 orang dan laki-laki 146 orang," kata Kepala Bidang Perlindungan Perempuan Niko Kewuan saat membuka kegiatan diskusi publik "Memetakan akar dan solusi pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang," di Kupang, NTT, Selasa 8 Agustus, disitat Antara.
Ia mengatakan, kasus TPPO merupakan kejahatan luar biasa yang melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) karena manusia tidak dipandang sebagai manusia seutuhnya tetapi dipandang sebagai komoditas yang menjanjikan untuk dijual.
Menurut dia Provinsi NTT merupakan daerah sumber korban TPPO dengan modus yang sering digunakan yakni dengan rayuan kata-kata bohong kepada orang tua, RT/RW bahwa apabila korban bekerja di luar negeri akan mendapatkan gaji yang besar.
Selain itu dalam merekrut tenaga kerja melalui pemalsuan dokumen kependudukan seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan para korban disekap di penampungan sementara selama berbulan-bulan.
"Bahkan ada yang memberikan sejumlah uang kepada orang tua untuk mengikat korban dan perekrutan calon pekerja migran dilakukan melalui media sosial," kata Iien.
BACA JUGA:
Dia mengatakan data kasus tindak pidana perdagangan orang yang dihimpun melalui Sistem Informasi Online Perlindungan Nasional Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) NTT menyebutkan bahwa kasus yang terlapor mengalami kenaikan.
Menurut dia pada 2019 kasus TPPO di NTT tercatat mencapai 191 kasus dan pada 2020 meningkat lagi hingga mencapai 382 orang serta pada 2021 mengalami kenaikan yang signifikan mencapai 624 kasus.
Menurut dia pada semester pertama 2023 kasus TPPO di provinsi berbasis kepulauan ini mencapai 185 orang terdiri dari 39 perempuan yaitu 12 orang anak dan 27 orang dewasa dan 146 orang laki-laki terdiri dari 20 orang anak-anak dan 126 orang dewasa.
Ia menambahkan latar belakang terjadinya kasus yang menimpa para Pekerja Migran Indonesia Non Prosedural (llegal) faktor kemiskinan, terbatasnya lapangan pekerjaan di NTT, berangkat dengan kemauan sendiri serta peran perusahaan yang merekrut tenaga kerja.
Ia mengatakan tindak pidana perdagangan orang harus diberantas secara bersama-sama melalui kerja bersama dari semua komponen terkait mulai dari hulu ke hilir.
Perlindungan terhadap pekerja migran Indonesia, kata dia seharusnya dimulai dari desa karena desa sebagai titik awal terjadinya praktik perekrutan informal.