Bagikan:

JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengangkat kembali isu Lima Poin Kesepakatan ASEAN (Five-point Consensus ASEAN) untuk mengakhiri konflik di Myanmar dalam Sidang Umum Ke-44 ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA) di Jakarta pada 7–9 Agustus 2023.

Ketua DPR RI Puan Maharani, selaku pimpinan sidang, menyampaikan Indonesia mengajak parlemen di negara-negara ASEAN untuk mengupayakan lima poin konsensus yang telah disepakati itu dapat diterapkan secara menyeluruh oleh pemerintah Myanmar.

"Posisi Indonesia sudah jelas bahwa kami ingin ada perdamaian di Myanmar. Melalui legislatif, tentu saja kami juga mendorong pemerintah untuk bisa bersama-sama mendorong Myanmar agar bisa menyepakati dan menjalankan lima (poin) kesepakatan yang sudah disepakati bersama," kata Puan Maharani menjawab pertanyaan Antara saat jumpa pers selepas Sidang Komite Eksekutif AIPA di Jakarta, Minggu.

Puan menyampaikan bahwa Indonesia juga berharap negara-negara ASEAN yang hadir dalam Sidang Umum Ke-44 AIPA juga ikut mendorong Myanmar menerapkan lima poin kesepakatan ASEAN untuk mengakhiri konflik di negaranya.

"Kami juga berharap semuanya dari negara-negara ASEAN yang hadir pada kesempatan ini, sembilan ketua DPR bisa juga mendorong terkait dengan bagaimana Myanmar segera menyelesaikan permasalahan yang ada di negaranya dengan damai sesuai dengan kesepakatan ASEAN yang sudah disepakati," kata Puan.

Lima Poin Konsensus ASEAN soal Myanmar disepakati oleh negara-negara anggota ASEAN pada tanggal 24 April 2021 atau kurang dari 2 bulan setelah junta militer Myanmar mengudeta pemerintahan sipil pimpinan Aung San Suu Kyi pada tanggal 1 Februari 2021.

Konsensus itu meminta pemerintah Myanmar mengizinkan pengiriman dan distribusi bantuan kemanusiaan dari negara-negara ASEAN, menghentikan segera segala bentuk kekerasan, menggelar dialog yang melibatkan seluruh pihak, menunjuk utusan khusus untuk berunding, dan mengizinkan utusan khusus ASEAN berkunjung ke Myanmar bertemu dengan pihak-pihak yang berkonflik.

Komisi HAM PBB (OHCHR) dalam laporannya yang merujuk pada hasil wawancara dan pemantauan pada tanggal 1 Februari 2022 sampai dengan 31 Januari 2023 menunjukkan korban meninggal dunia mencapai lebih dari 2.900 jiwa, dan 17.572 warga ditangkap dan ditahan sewenang-wenang oleh junta militer.