BOGOR - Keluarga Bripda Ignatius Dwi Frisco Sirage atau Bripda IDF (20) meminta Polri transparan dalam mengusut kasus yang menewaskan anaknya di Rusun Polri, Cikeas, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
"Kami mohon kasus ini nanti dapat transparan, dapat kami dengarkan hasil akhir dari kasus yang dialami anak kami," kata ayah dari Bripda IDF, Y Pandi dilansir ANTARA, Selasa, 1 Agustus.
Dia berterima kasih kepada Kapolres Bogor beserta jajaran yang sedang melakukan penyidikan atas kelalaian yang menyebabkan anaknya tewas tertembak.
"Terima kasih kepada Kapolres Bogor yang tadi telah menjelaskan hasil yang telah kami dan tim kuasa hukum dengarkan semuanya," ujarnya.
Sementara, Ketua Tim Kuasa Hukum Keluarga Bripda IDF, Jelani Christo menyebutkan pihaknya akan terus mengawal proses hukum mengenai unsur pidana yang menyebabkan Bripda IDF meninggal dunia.
"Proses hukum ini akan terus kita kawal dan jaga agar semua bisa terbuka," ujar Jelani yang juga Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Mandau Borneo Keadilan.
Kuasa hukum lainnya, Yustinus Stein Siahaan mengungkapkan bahwa banyak fakta-fakta masuk akal diungkapkan oleh Kepolisian mengenai peristiwa yang menewaskan Bripda IDF.
Namun, pihaknya mengaku memiliki sejumlah petunjuk lain yang akan dikaji secara bersama-sama tim kuasa hukum Bripda IDF.
"Kami sendiri oleh tim kuasa hukum untuk mungkin bisa berkolaborasi memberi masukan kepada tim penyidik, sehingga kasus ini bisa lebih jelas lagi," kata Yustinus dari Tim Hotman 911.
BACA JUGA:
Bripda IDF tewas tertembak akibat kelalaian rekan kerjanya yang memperlihatkan senjata api rakitan ilegal pada Minggu (23/7) di Rusun Polri, Cikeas, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Dua anggota Polri dari Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri ditetapkan sebagai tersangka, yakni Bripda IMS dan Bripka IG. Keduanya dinyatakan melanggar kode etik kategori pelanggaran berat serta tindak pidana Pasal 338.
Bripda IMS dikenakan Pasal 338 atau Pasal 359 KUHP dan atau Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1951. Sedangkan untuk tersangka Bripka IG dikenakan Pasal 338 juncto Pasal 56 dan atau Pasal 359 KUHP juncto Pasal 56 KUHP dan atau Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951.
Keduanya terancam pidana hukuman mati, atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya 20 tahun.