Bagikan:

JAKARTA - Korea Utara diduga menembakkan rudal balistik jarak jauh ke arah Laut Timur, di tengah ketegangan yang disebabkan oleh tuduhan rezim tertutup tersebut terhadap operasi pesawat mata-mata AS pada awal pekan ini, menurut militer Korea Selatan.

Kepala Staf Gabungan (JCS) mengatakan pihaknya mendeteksi peluncuran dari suatu daerah di atau sekitar Pyongyang sekitar pukul 10 pagi waktu setempat. Tidak ada penjelasan lebih lanjut sambil menunggu analisis.

"Sementara memperkuat pemantauan dan kewaspadaan kami, militer kami tetap mempertahankan postur kesiapan penuh dalam kerja sama yang erat dengan Amerika Serikat," kata JCS dalam pesan teks yang dikirimkan kepada wartawan sebagaimana dilansir ANTARA dari Yonhap, Rabu, 12 Juli.

Peluncuran rudal jarak jauh terakhir Korut dilakukan pada 13 April, ketika Korut menembakkan rudal balistik antarbenua berbahan bakar padat Hwasong-18.

Sebelumnya, Kim Yo-jong, saudara perempuan berkuasa dari pemimpin Korut Kim Jong-un, mengeluarkan pernyataan tajam yang mengklaim bahwa pesawat mata-mata militer AS "menyusup" ke wilayah di atas zona ekonomi eksklusif (ZEE) Korut.

Kim memperingati Korut akan mengambil tindakan "jelas dan tegas" terhadap penerbangan pengawasan AS di dalam "zona perairan ekonomi" Korut, mengklaim insiden "mengejutkan" dapat terjadi.

Militer Korsel telah menolak pernyataan Kim, mengatakan kebebasan navigasi dan penerbangan dijamin di ZEE.

Peluncuran terbaru terjadi saat pertemuan diplomatik dan keamanan besar terjadi pada minggu ini, termasuk Konferensi Tingkat Tinggi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di Lithuania dan Forum Regional ASEAN di Indonesia.

Dalam KTT NATO, Presiden Korsel Yoon Suk Yeol diharapkan untuk membahas kerja sama keamanan menghadapi ancaman militer Korut dengan pemimpin lainnya.

Ancaman kekuatan militer Korut juga terjadi setelah kegagalan peluncuran roket luar angkasa yang membawa satelit pengintaian militer pertama Korut pada akhir Mei. Roket tersebut jatuh di Laut Kuning setelah penyalaan mesin tahap kedua tidak normal, menurut media pemerintah Korut.