Manajemen Penyelenggaraan Tak Kalah Penting Dibanding Anggaran Haji
Suasana di sekitar Masjid Namirah, tempat khutbah Wukuf disampaikan. (Twitter/@HaramainInfo)

Bagikan:

JAKARTA - Komisi VIII meminta Pemerintah membenahi sistem manajemen penyelenggaraan ibadah haji untuk membuat jemaah semakin nyaman saat menjalankan ibadah. Apalagi menyusul banyaknya kendala teknis yang ditemukan dalam penyelenggaraan haji tahun ini.

"Ada faktor cukup penting yang selama ini tidak kita perhatikan, karena kan lebih fokus pembahasannya anggaran haji. Faktor yang penting salah satunya manajemen penyelenggaraan haji,” kata Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Diah Pitaloka, Sabtu 1 Juli.

Diah menjadi salah satu anggota Tim Pengawas Haji (Timwas) DPR yang bertugas memantau pelaksanaan ibadah haji di Arab Saudi. Dari hasil pengawasannya, ia menemukan sistem manajemen penyelenggaraan haji dan kebutuhan Sumber Daya Manusia (SDM) petugas menjadi persoalan paling utama yang harus dibenahi oleh Pemerintah.

Seperti diketahui, kuota jemaah haji Indonesia untuk tahun 2023 mengalami peningkatan menjadi sekitar 230 ribu orang. Ada kenaikan lebih dari 2 kali lipat dibanding tahun lalu di mana Pemerintah Arab Saudi hanya memberikan kuota jemaah haji untuk Indonesia sebanyak 100 ribu orang.

Diah menilai, manajemen krisis dalam penyelenggaraan haji kali ini belum optimal. Terutama karena banyak jemaah haji lansia yang diprioritaskan untuk berangkat tahun ini mengingat akibat pandemi COVID-19, ada batasan usia untuk keberangkatan haji.

"Terlebih sekarang mengambil kebijakan 30 persen lansia, berarti ada 70 ribu lansia jemaah haji Indonesia kali ini. Artinya beban kerja teknis bagi pendamping kan jadi lebih meningkat tapi ini menurut saya ujian bagi tata kelola manajemen haji kita," ucap Diah.

Para lansia yang menunaikan haji memiliki keterbatasan dalam melaksanakan ibadah. Untuk itu, kata Diah, peran pengawas haji menjadi krusial dalam menyukseskan penyelenggaraan haji oleh Kementerian Agama (Kemenag).

"Ada jemaah yang sebetulnya secara kesehatan sudah berat dan perlu mendapat bantuan. Walaupun tentu orang kadang ingin berangkat haji, tapi lansia-lansia memang secara fisik sudah butuh asisten personal,” paparnya.

“Nah pendekatannya belum kita bicarakan, jadi kita harus bisa memberi perhatian lebih pada kualitas pelayanannya secara kualitatif," tambah Diah.

Kemenag pun diharapkan dapat menugaskan lebih banyak petugas haji khususnya bagi pendamping lansia. Dengan adanya peningkatan pendamping, Diah menilai hal tersebut dapat membantu para jemaah lansia yang kesulitan saat menunaikan ibadah haji.

"Hari ini pendamping haji perannya menjadi sangat penting. Saat ini nggak bisa personal asisten karena kapasitas kuota petugas nggak bisa menangani person to person," sebutnya.

"Memang ada lansia yang ditangani oleh teman sekamarnya tapi ada juga yang tidak. Karena kan nggak bisa ditemenin terus, orang juga kan harus ibadah. Ini yang sebetulnya kita belum mendapatkan gambaran teknis bagaimana rencana Kemenag menyangkut lansia," imbuh Diah.

Menurutnya, ada berbagai persoalan lain selain peristiwa telantarnya sejumlah jemaah haji usai menunaikan ibadah wukuf di Arafah. Diah memberi contoh persoalan toilet yang mungkin di hari-hari biasa merupakan hal sepele, namun saat pelaksanaan haji menjadi sangat signifikan, apalagi bagi lansia.

“Toilet itu ngantre-nya kurang lebih satu jam karena jumlah jemaahnya yang luar biasa. Nah antre satu jam ini yang lansia kan kasihan. Kita melihatnya sedih. Keran juga kemarin ada yang bocor. Ada juga lansia-lansia yang itu di Mina jalan ke Jamarat, padahal harusnya bisa dibadalkan,” tuturnya.

Diah juga meminta Pemerintah mengevaluasi betul persoalan maktab sehingga kejadian jemaah haji yang tidur di luar tenda di Mina tidak terjadi lagi buntut kelebihan kapasitas. Apalagi dalam kejadian tersebut juga terdapat lansia.

“Bagaimana formatnya di tenda itu, siapa yang jaga karena memang harus bermalam di sana. Yang paling berat dalam ibadah haji itu memang di Arafah-Mina karena nggak ada transportasi,” ucap Diah.

“Jadi orang itu sekali lempar jumrah bisa berjalan 2-3 km minimal dari tenda-tenda maktab kita. Nah ini pulang pergi 3 kali, kebayang dalam kondisi panas, lalu tidur di tenda ada yang di luar, belum lagi keterbatasan toilet,” sambungnya.

Diah menyatakan, kondisi seperti itu perlu manajemen yang efektif dan efisien. Salah satu solusinya bisa dengan adanya tim teknis yang mengontrol kegiatan jemaah selama menjalankan rangkaian ibadah haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina.

“Ini untuk memastikan quality control sehingga pelayanan terhadap jemaah haji lebih optimal,” terang Diah.

Lewat tim teknis itu, komposisi petugas yang menangani jemaah selama di Arafah, Muzdalifah, dan Mina juga bisa lebih jelas. Harapan Diah, setiap kendala yang ada bisa langsung cepat diselesaikan apabila ada petugas yang in charge.

“Misalnya satu petugas haji itu bisa menghandle berapa jemaah, jadi komposisinya satu petugas pegang berapa jemaah. Kemudian berapa persen petugas yang efektif, karena petugas ini tidak selalu mendampingi jemaah,” urainya.

Tim teknis quality control juga bisa berperan untuk mengantisipasi maktab bagi jemaah haji yang malah dipakai oleh peziarah. Sebab tak sedikit ditemukan peziarah yang memanfaatkan fasilitas haji sehingga jemaah haji justru terkena imbasnya karena jatah tendanya diambil.

"Masalah tenda kita diambil untuk ziarah, yang visanya itu visa turis atau visa kunjungan. Ini juga harus dievaluasi dalam kerangka manajemen," tegas Diah.

Tak hanya soal tenda, Legislator dari Dapil Jawa Barat III itu menyoroti soal kualitas pemondokan jemaah haji secara keseluruhan. Diah meminta penyelenggara haji terus melakukan kontrol kualitas pelayanan terhadap jemaah, termasuk dalam hal pemondokan atau hotel tempat jemaah menginap selama menjalankan ibadah haji.

“Kita perlu juga petugas untuk melakukan kontrol. Misalnya itu ada hotel yang pelayanan itu setiap hari seprainya diganti, ada yang selama sebulan seprainya tidak diganti padahal satu kamar itu 5-7 orang,” ucap Diah.

Mengenai kualitas hotel, pimpinan di DPR yang membidangi urusan agama tersebut meminta Kemenag untuk melakukan standarisasi. Diah menyebut, persoalan sistem kontrol ini kembali pada sistem manajemen penyelenggaraan haji.

“Perlu ada yang satu atau dua minggu sekali berkomunikasi dengan pemilik hotel, ajukan komplain kita minta perbaiki layanannya. Jadi standsr service semua jemaah itu menurut saya harus sama,” tegasnya.

Di sisi lain, Diah mendorong Kemenag untuk melakukan evaluasi terkait sistem kerja petugas haji. Sebagai ujung tombak pelayanan haji, Kemenag harus bisa mencari format sebaik mungkin mengenai kebutuhan SDM yang bertugas memberi pelayanan kepada jemaah haji.

“Termasuk juga jam kerja. Karena jam kerjanya nggak rata, ada yang mungkin sedikit, ada yang sampai 16 jam sehari. Beban kerjanya bertambah, tapi SDM-nya tidak dipersiapkan dengan beban kerja yang bertambah itu. Ini harus diperbaiki. Nanti kita evaluasi,” lanjut Diah.

“Kita juga berharap misalnya kamar petugas itu kalau bisa jangan satu kamar 5 orang udah gitu nggak ada mesin cuci. Ini 2 bulan lho. Bagaimana mereka membantu sebagai personal asistennya, kalau untuk dirinya sendiri kerepotan," tambahnya.

Penerapan sistem sift atau pembagian jadwal kerja petugas juga dinilai menjadi hal yang penting. Apalagi pelaksanaan ibadah haji banyak yang dilakukan malam hari sehingga stamina petugas dalam memberi pelayanan kepada jemaah dapat dipastikan berjalan dengan baik.

“Jadi manajemen SDM dan energi ini yang selama ini belum pernah kita exercise. Kita simulasikanlah, cara kerjanya bagaimana. Harus ada sift dalam sistem kerja, pembagian tugas karena petugas kan juga manusia, tubuh juga butuh istirahat,” jelas Diah.

Salah satu upaya yang bisa dilakukan misalnya dengan memperbanyak pemberdayaan terhadap Warga Negara Indonesia (WNI) yang berada di Arab Saudi sebagai tambahan pendamping haji. Saat ini tenaga pendamping haji musiman hanya berkisar 200 orang yang diberdayakan sebagai tambahan tenaga dalam pelayanan haji oleh Kemenag.

"Selama ini kan kita bicaranya fasilitas makanan dan hotel tapi saya melihatnya dalam pengawasan haji ini, saya coba melihat dari perspektif lain. Manajemen pelayanan dan sumber daya manusia dalam pelaksanaan haji," ungkap Diah.

Berbagai kesulitan yang dihadapi jemaah haji Indonesia disebut akan dibahas oleh DPR bersama Kemenag. Diah berharap, ke depannya Pemerintah memiliki solusi atas persoalan-persoalan teknis yang terjadi di lapangan.

"Ini jadi PR, kita melihat ini dalam kerangka sebuah manajemen kerja dan manajemen sumber daya termasuk juga energi. Ini akan diperbaiki, akan kami evaluasi kembali bagimana SOP-nya, penangannya, dan lain-lain,” tutupnya.