JAKARTA - Panitia Khusus (Pansus) Angket DPR RI terkait penyelenggaraan Ibadah Haji 2024 telah mengeluarkan sejumlah rekomendasi setelah melakukan penyelidikan menyeluruh terhadap pelaksanaan haji 2024. Rekomendasi dari DPR ini diharapkan dapat menjadi rujukan untuk berbagai pihak dalam menyelidiki dan memperbaiki tata kelola haji.
Laporan hasil penyelidikan Pansus Haji DPR disampaikan pada Rapat Paripurna terakhir DPR Periode 2019-2024 yang digelar di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (30/9/2024). Laporan tersebut memuat berbagai rekomendasi yang dibacakan oleh Ketua Pansus Angket Haji DPR, Nusron Wahid.
Pansus Angket Haji dibentuk pada 19 Agustus 2024 untuk meninjau pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, terutama terkait distribusi kuota haji dan tata kelola yang dianggap perlu ditingkatkan dalam hal transparansi dan akuntabilitas pada pelaksanaan haji 2024.
“Ada beberapa aspek yang kami kaji. Pertama, terkait manajemen kuota haji; kedua, manajemen penyelenggaraan ibadah haji; ketiga, manajemen keuangan haji; keempat, soal manajemen SDM dan petugas haji; dan yang terakhir, terkait kelembagaan,” ujar Anggota Pansus Angket Haji DPR RI Selly Andriany Gantina di Gedung DPR usai Rapat Paripurna.
Pansus telah melakukan berbagai langkah penyelidikan, termasuk rapat dengar pendapat umum (RDPU) serta inspeksi ke instansi terkait, seperti Kementerian Agama (Kemenag) dan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), untuk mengumpulkan informasi mengenai tata kelola kuota haji dan manajemen terkait.
Pada 28 Agustus 2024, Pansus menemukan ketidaksesuaian data dalam pengelolaan kuota haji, khususnya terkait dengan penetapan kuota haji tambahan sebanyak 10.000 yang dinilai memerlukan pemerataan. Selanjutnya, pada 2 September 2024, Pansus mulai mendalami aspek-aspek pengelolaan kuota ini dengan keterlibatan berbagai pihak, termasuk Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk menjaga transparansi dalam prosesnya.
Pansus menegaskan pentingnya audit terhadap Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) untuk memastikan tata kelola yang lebih baik, terutama terkait data penggabungan mahram.
“Kami berkomitmen untuk memperjuangkan keadilan dan transparansi melalui revisi Undang-Undang Haji,” kata Selly menekankan.
Berdasarkan hasil penyelidikan, Pansus mengeluarkan lima rekomendasi terkait evaluasi penyelenggaraan ibadah haji. Pertama, perlu adanya revisi UU No 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, serta UU No 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji, agar lebih sesuai dengan kondisi terkini di Arab Saudi.
“Kedua undang-undang ini harus dielaborasikan dan disesuaikan dengan perubahan yang terjadi,” ujar Selly, yang juga Anggota Komisi VIII DPR RI.
Rekomendasi kedua adalah sistem penetapan kuota haji harus lebih transparan dan akuntabel, khususnya untuk haji khusus dan kuota tambahan. Pansus juga menekankan pentingnya keterbukaan informasi kepada publik dalam setiap keputusan terkait haji.
Dalam rekomendasi ketiga, Pansus mendorong agar penyelidikan terhadap penyelenggaraan ibadah haji lebih diperkuat, baik dari segi perencanaan maupun evaluasi pasca-haji. "Kita ingin agar penyelidikan lebih ketat di setiap tahapan," jelas Selly.
Rekomendasi keempat menekankan penguatan peran lembaga pengawasan internal Pemerintah, seperti Inspektorat Jenderal Kemenag dan BPKP, dalam mengawasi pelaksanaan haji. Jika diperlukan, menurut Selly, pengawasan eksternal dari BPK atau aparat penegak hukum dapat dilibatkan.
“Rekomendasi DPR jadi rujukan penyelidikan penyelenggaraan Haji,” sebutnya.
Terakhir, Pansus memberikan rekomendasi untuk Pemerintahan mendatang agar memilih pejabat Kemenag yang lebih kompeten dalam mengelola penyelenggaraan haji. Selly berharap agar Menteri Agama yang akan datang lebih akomodatif dan profesional dalam menjalankan tugasnya.
“Kesimpulannya, kami berharap agar ke depan, pengelolaan haji dapat lebih profesional dan akuntabel, serta didukung oleh figur Menteri yang lebih kooperatif,” pungkas Selly.