JAKARTA - Acara peluncuran buku Panggil Saya BTP yang ditulis oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengungkap fakta, Ahok sesungguhnya merasa gerah dikaitkan dengan orang yang dekat dengan Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Hal ini dibeberkan oleh mantan Wakil Gubernur DKI Djarot Syiful Hidayat, yang juga kerabat dekat Ahok. Saat musim Pemilu 2019, ketika Ahok masih menjalani masa tahanan di Mako Brimob, Djarot kerap membesuk Ahok dan dia mendapat cerita itu.
Kala itu, ada anggapan bahwa Ahok dilabelkan dekat dengan PSI. Ketua Umum PSI Grace Natalie, dalam beberapa kesempatan, berujar partainya terinspirasi dari karakter Ahok yang tegas, independen, dan mengedepankan transparansi.
Mendengar kabar tersebut, Ahok mengungkap rasa gerahnya kepada Djarot. Mantan Gubernur DKI Jakarta ini ternyata tak mau dianggap memiliki hubungan 'khusus' dengan PSI.
"Jelang pemilu, jelang politik dia (Ahok) tidak mau namanya untuk dianggap atau meng-endorse membesarkan, maaf, PSI," ujar Djarot di Gedung Tempo, Palmerah Jakarta Selatan.
Ucapan Djarot lantas disambut tawa tamu undangan yang hadir di lokasi.
Menanggapi, Ahok menganggap wajar atas sentimen tersebut. Pasalnya, sebagian kader PSI merupakan mantan staf Ahok, di antaranya Sunny Tanuwidjaja, Michael Sianipar, Rian Ernest, dan Idris Ahmad.
Sampai akhirnya, Ahok keluar dari penjara dan masuk kembali sebagai kader partai. Ahok lebih memilih menjadi kader PDIP dibanding PSI. Ahok mengakui, dirinya sama sekali tidak merasa dilema ketika memilih jalan politiknya.
"Enggak ada dilema PDIP atau PSI. Saya berpikir, suatu negara yang begitu tegang, dalam keadaan negara terbelah kita harus punya satu partai nasionalis yang besar saya memimpikan PDIP bisa diatas 33 persen supaya kuat di parlemen," kata Ahok.
Untuk menguatkan keyakinannya, Ahok melanjutkan dengan menyentil partai yang baru masuk dalam kontestasi Pemilu pada tahun 2019 lalu. "Partai baru bisa ngomong gede. Masuk ke dalem belum tentu teruji," tutup Ahok.