Bagikan:

JAKARTA - Bangladesh mengesampingkan keretakan hubungan akibat krisis pengungsi Rohingya dan akan membeli 100 ribu ton beras dari Myanmar, saat pemerintah berupaya mengatasi kekurangan makanan pokok bagi lebih dari 160 juta penduduk Bangladesh.

Tingginya harga beras menimbulkan masalah bagi pemerintah Dhaka, yang meningkatkan upaya untuk mengisi kembali cadangan yang habis setelah banjir tahun lalu merusak tanaman dan memicu lonjakan harga.

Bangladesh akan mengimpor beras putih dalam kesepakatan antarpemerintah dengan harga 485 dolar AS (sekitar Rp6,8 juta) per ton, termasuk biaya, asuransi, dan pengiriman.

"Prioritas utama kami adalah menurunkan harga beras," kata sekretaris pada Kementerian Pangan Bangladesh Mosammat Nazmanara Khanum, kepada Reuters, dikutip dari Antara, Minggu 24 Januari.

Ia menambahkan bahwa pemerintah dapat membeli sebanyak 10 juta ton sementara pedagang swasta diizinkan untuk membeli 10 juta ton lagi dalam setahun hingga Juni. Kesepakatan itu akan segera ditandatangani dan beras akan dikirim pada April secara bertahap, kata dia.

Bangladesh juga membeli 150 ribu ton beras dari perusahaan milik negara India, NAFED, dalam kesepakatan antarpemerintah, sementara negara itu telah mengeluarkan serangkaian tender untuk membeli biji-bijian.

"Kami bisa membeli lebih banyak beras dari India dalam kesepakatan antarnegara bagian," kata Khanum, kemudian menambahkan bahwa Kementerian Pangan sedang mengadakan pembicaraan dengan beberapa badan negara India lainnya.

Bangladesh, yang secara tradisional merupakan produsen beras terbesar ketiga di dunia dengan sekitar 35 juta ton per tahun, menggunakan hampir semua produksinya untuk menyediakan pangan bagi rakyatnya. Negara itu masih sering mengimpor untuk mengatasi kekurangan pangan akibat banjir atau kekeringan.

Bangladesh, yang mayoritas penduduknya adalah Muslim, telah berselisih dengan Myanmar karena masalah satu juta pengungsi Rohingya yang hingga kini berada di kamp-kamp di Bangladesh selatan.

Sebagian besar warga Rohingya, yang beragama Islam, lari menyelamatkan diri dari Myanmar pada 2017 akibat tindakan keras pimpinan militer, yang menurut para penyelidik Perserikatan Bangsa-Bangsa dilakukan dengan "niat genosida", sebuah pernyataan yang dibantah Myanmar.