Bagikan:

JAKARTA - Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah menyebut tak mudah membuat petani tembakau menanam komoditas lain. Hal ini disampaikannya menanggapi wacana memasukkan tanaman tersebut dalam kategori serupa dengan zat adiktif lain seperti narkotika pada RUU Omnibus Kesehatan.

"Mengubah lahan perkebunan tembakau menjadi lahan perkebunan pangan tidak akan berdampak untuk produksi pangan nasional kalau petaninya sendiri semakin berkurang," kata Piter dalam keterangan tertulis, Rabu, 31 Mei.

Memperkuat pernyataan Piter, Sahminuddin yang merupakan petani tembakau di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) mengatakan pekerjaannya sudah menjadi budaya yang diturunkan sejak dulu. Sehingga, mengganti komoditas untuk ditanam bukan hal yang mudah.

"Lahan kami cuma cocok untuk tanaman tembakau," tegas Sahminuddin.

Sahminuddin menyebut tembakau lebih bernilai tinggi dibandingkan komoditas perkebunan lain. "Lalu kalau masalah ini mau diganti tidak bisa serta merta. Kalau mereka diminta dialihkan ke komoditas lain apakah ada jaminan pasar," ujarnya.

Dalam draf RUU Kesehatan pada Pasal 154 Ayat 3 menyebut hasil olahan tembakau senilai dengan narkotika dan zat psikotropika. Disebutkan juga zat adiktif lainnya yaitu narkotika, psikotropika, hingga minuman beralkohol.

Berikut bunyi pasal tersebut:

"Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa: (a). narkotika; (b). psikotropika; (c). minuman beralkohol; (d). hasil tembakau; dan (e). hasil pengolahan zat adiktif lainnya."

Sementara pada Ayat 6 disebutkan, "Hasil tembakau sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d dapat berupa: a. sigaret; b. cerutu; c. rokok daun; d. tembakau iris; dan e. tembakau padat dan cair yang digunakan untuk rokok elektrik."