JAKARTA - PAN mengingatkan Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan judicial review Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum atau lebih spesifik mengenai sistem proporsional tertutup.
Wakil Ketua Umum PAN Viva Yoga Mauladi mengungkapkan ada beberapa alasan MK harus menolak gugatan tersebut sebagai garda terdepan penjaga moral demokrasi di Indonesia.
Sebab, sistem pemilu tertutup akan membuat masyarakat hanya mencoblos lambang partai politik peserta pemilu saja.
"Tentang adanya judicial review dari para pihak atas Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, khususnya tentang sistem pemilu proporsional daftar terbuka agar menjadi sistem pemilu proporsional tertutup di mana hanya mencoblos lambang partai politik peserta pemilu saja. Tanpa bermaksud melakukan intervensi kepada MK, PAN mengingatkan MK agar menolak gugatan tersebut," ujar Viva dalam keterangannya, Selasa 30 Mei, disitat Antara.
Pertama, lanjut dia, sistem pemilu tertutup yang hanya mencoblos tanda gambar partai politik saja akan merusak sistem demokrasi karena akan melanggar prinsip pemilu yang demokratis yang ditandai oleh one person, one vote, one value (OPOVOV).
"Suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi, vox dei) tidak akan terwujud di dalam sistem pemilu tertutup," ucap Viva.
Lalu, kedua adalah MK dalam putusan MK Nomor 22-23/PUU-VI/2008 telah menetapkan sistem pemilu proporsional daftar terbuka berdasarkan suara terbanyak. Hal itu mengabulkan gugatan atas pasal 214 (a, b, c, d) UU Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang memakai sistem proporsional daftar tertutup.
Untuk itu, PAN mengingatkan Mahkamah Konstitusi yang pernah mengabulkan gugatan untuk menerapkan sistem pemilu proporsional daftar terbuka, karena alasan MK bahwa sistem penetapan anggota legislatif berdasarkan sistem pemilu tertutup terbatas itu akan menyebabkan terjadinya pelanggaran dan bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dijamin konstitusi.
Menurutnya, dasar filosofi dari setiap pemilihan atas orang untuk menentukan pemenang adalah berdasarkan suara terbanyak. Oleh karena itu, memberlakukan sistem pemilu tertutup terbatas berarti memasung hak suara rakyat untuk memilih sesuai pilihannya.
Selain itu, sistem tertutup telah mengabaikan tingkat legitimasi politik calon terpilih. Hal ini merupakan satu kutipan amar putusan MK Nomor 22-23/PUU-VI/2008.
"Lah ini, tuntutan dari para pihak itu justru kembali ke zaman pemilu yang primitif, tidak ada nama caleg yang berdasarkan nomor urut, tetapi hanya mencoblos tanda gambar partai politik saja," tuturnya.
Ia menilai sistem pemilu tertutup murni sangat tidak masuk akal dan sifatnya historis bagi pembangunan demokrasi apabila MK mengabulkan gugatan tersebut.
Ketiga, jika yang menjadi dasar penggugat adalah pasal 22 E ayat 3 UUD RI 1945 bahwa peserta pemilu untuk memilih anggota DPR RI dan anggota DPRD adalah partai politik. Sementara, di pasal 22 E ayat 6 sudah jelas dinyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut tentang pemilu diatur dengan undang-undang.
BACA JUGA:
Viva menegaskan keberadaan sistem pemilu proporsional terbuka sudah ada di Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017. Ini mengatur tentang sistem pemilu harusnya masuk ke ranah open legal policy. Bagi masyarakat pemilih sistem ini dapat diterima dengan baik karena sudah terbiasa dengan pemilihan langsung, melalui pemilihan kepala desa (pilkades), pemilihan kepala daerah (pilkada), pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg).
"Sudah tiga kali pemilu memakai suara terbanyak rasanya cukup bagi KPU, Bawaslu dan DKPP sekarang untuk lebih tangguh, andal, dan kuat karena memiliki pengalaman empiris agar dapat menyelenggarakan pemilu lebih baik dan berkualitas lagi," tambah Viva.
Tidak hanya itu, ada beberapa hal positif bagi pembangunan demokrasi di Indonesia jika sistem pemilu proporsional daftar terbuka. Pertama, menghindari bahaya nepotisme di internal parpol.
Secara empiris, siapa yang dekat pimpinan akan mendapatkan nomor urut kecil. Meskipun parpol melakukan rekrutmen secara transparan dan objektif, namun unsur subjektivitas pimpinan selaku policy maker dalam skala tertentu akan mengalahkan unsur obyektivitas.
Kedua, sistem suara terbanyak tidak akan menghilangkan kedaulatan parpol. Pasalnya, yang merekrut, menyusun, dan mendaftarkan caleg ke KPU adalah parpol.
Tidak bisa orang per-orang, karena peserta pemilu legislatif adalah partai politik. Tentunya parpol akan mengukur caleg tersebut bagaimana kadar dan pemahaman ideologi partai-nya, basis massa di dapil, kinerja, dan sebagainya.
Jika terpilih, lanjut Viva, siapa pun orangnya, sudah diatur di Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu untuk wajib tunduk, patuh dan taat pada kebijakan parpol. Parpol memiliki otoritas atau kewenangan mutlak untuk melakukan evaluasi dan pergantian antar waktu jika anggota Dewannya wan-prestasi atau melanggar kebijakan parpol.
"Setiap anggota dewan pasti akan berbicara sesuai dengan kebijakan parpol-nya. Tidak dapat membawa kepentingan pribadi yang berbeda dengan platform dan kebijakan parpol-nya," jelas Viva.
Ketiga, sistem suara terbanyak akan mendekatkan caleg terpilih dengan konstituen-nya, karena dapat lebih mudah melakukan komunikasi dan menyuarakan aspirasi serta kepentingannya untuk diperjuangkan oleh anggota Dewan menjadi kebijakan negara dan direalisasikan dalam bentuk program-program di masyarakat.
Dengan kata lain tentu juga akan semakin mendekatkan parpol dengan rakyat yang diwakilinya di lembaga legislatif melalui caleg terpilih. Hal ini sama sekali tidak mengganggu atau mendegradasi kedaulatan parpol dalam sistem demokrasi sebab caleg terpilih itu dicalonkan oleh parpol.
"Justru sebaliknya, malah akan semakin memperkuat kehadiran dan eksistensi parpol di tengah-tengah masyarakat," ucapnya.
Keempat, sistem suara terbanyak lebih bersifat adil dibanding sistem pemilu tertutup. Siapa caleg yang bekerja lebih keras di dapil tentu akan mendapatkan suara lebih banyak.
Memilih orang dalam pemilu adalah salah satu tonggak penting membangun kedaulatan rakyat. Rakyat menentukan sendiri siapa yang akan mewakili dirinya untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingannya di lembaga legislatif sebagai wakil rakyat.
Kelima, tidak ada jaminan dan ukuran akademis bahwa sistem proporsional daftar tertutup murni akan mengurangi dan atau menghilangkan praktik politik uang (money politic) dibandingkan sistem proporsional daftar terbuka berdasarkan suara terbanyak.
Praktik politik uang itu bukan soal apa sistem pemilu-nya, tetapi karena soal kesulitan ekonomi rakyat, kesadaran politik rakyat dalam memaknai pemilu, pengawasan pelaksanaan pemilu oleh Bawaslu, lembaga pemantau, maupun oleh partisipasi masyarakat, serta penegakan aturan pemilu.